Perlunya Memaknai Kembali Konsep Negara - Tambahan untuk Coen Husain Pontoh
I Fahmi Panimbang
MELANJUTKAN kritik Coen tentang peran negara dalam “Masih Efektifkah Negara Budiman?” di blog ini (lihat a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2007/10/masih-efektifkah-negara-budiman.html">di sini), saya ingin turut berbagi pendapat. Saya sepakat bahwa negara kini memiliki peran lebih besar dalam melancarkan gerak modal, di mana saya lebih melihatnya sebagai bertemunya dua kepentingan – yaitu elite pejabat (negara) dan pengusaha (modal) – yang satu sama lain saling menguntungkan. Identitas antara kepentingan negara dan modal terlihat semakin dekat. Tetapi saya lebih melihat “momen saling menguntungkan” ini sebagai tekanan dari atas, yakni modal, atas negara.
ui name='more'>Secara teoritis sebenarnya, seperti diungkapkan Wood dalam “Labor, Class and State in Global Capitalism” (1998), kolaborasi negara dan modal tersebut seharusnya melahirkan partisipasi politik yang lebih besar dari warga untuk menentang kebijakan negara yang lebih memihak modal. Kedekatan identitas antara kepentingan negara dan modal telah mendorong rakyat untuk turun ke jejalanan menentang kebijakan neoliberal. Ini adalah asumsi teoritis. Tetapi seberapa sahih argumentasi Wood untuk konteks Indonesia? Mencermati konteks dan sejarah depolitisasi yang kuat dan lama atas rakyat di negeri ini, sepertinya relatif sulit untuk mengharap ‘ramalan’ Wood di atas terjadi secara berarti.
Memaknai Kembali Negara
Mungkin kita perlu memaknai kembali konsep negara. Untuk saya, ”negara” adalah ”kita”. Maksudnya, negara merupakan arena bagi siapapun dan ruang pertarungan kepentingan kelompok manapun, termasuk pengusaha. Sudah lama kita menganggap bahwa negara dan tindakan politik sebagai “di luar” aktivitas kita; dan selama itu pula para pengusaha yang terus mampu mengorganisir diri dengan baik dan dengan kemampuan mobilisasi sumber daya dapat ‘menguasai’ arena negara. Mereka mampu mempengaruhi pemerintah dan beraliansi dalam suatu rezim kekuasaan. Tidak heran jika “Globalisasi dari Atas” (baca: desakan modal) selalu lebih canggih dan sulit dibendung oleh “Globalisasi dari Bawah” (resistensi gerakan rakyat). Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan gerakan rakyat selalu tertinggal dan sangat kurang optimal dalam memanfaatkan banyak peluang yang diciptakan globalisasi. Padahal, aliansi negara dan modal bukanlah kejadian yang deterministik dan tak dapat diubah, sebab kedua entitas itu secara inheren juga memiliki potensi perpecahan.
Mengutip Wood, Coen menyebutkan bahwa saat ini “kapital (modal) membutuhkan negara untuk mengelola kondisi-kondisi yang ajeg bagi kepentingan akumulasi, untuk menciptakan buruh yang berdisiplin, dan untuk mempercepat mobilitas kapital sementara di saat yang sama, menekan pergerakan tenaga kerja”. Hemat saya, ini karena arena negara benar-benar ‘dikuasai’ oleh kepentingan pengusaha, politisi, pejabat, dan aparat negara; dan karena prosedur demokrasi sampai saat ini belum mampu memfasilitasi kepentingan publik yang lebih luas.
Perlu segera dicatat di sini, yang menjadi soal bukanlah adanya pengusaha, politisi, elite pejabat, atau aparat negara. Mereka adalah sekelompok warga yang dapat menjadi elite oligarkis yang selalu ada dalam fenomena kekuasaan manapun. Yang menjadi masalah ialah pengawasan dan disiplin dalam pengorganisasian politik: Sejauh mana rakyat mampu mengawasi mereka dan menetapkan aturan yang adil, terutama bagi mereka yang paling kurang beruntung. Mekanisme pengawasan ini seharusnya terinstitusionalisasi. Selain itu, kita juga perlu merehabilitasi makna “politik dan negara” yang selama ini relatif dangkal.
Namun demikian, kasus di Indonesia sekaligus menunjukkan antitesa dari posisi Wood di atas, bahwa “kini modal lebih membutuhkan negara.” Di Indonesia tidak jarang yang terjadi adalah bahwa dengan posisi tawar-menawar yang relatif tinggi modal kerap berbuat sewenang-wenang. Kita terus diperlihatkan banyak kasus pelanggaran hak warga yang dilakukan pengusaha: pabrik tutup tiba-tiba dan buruh ditinggal kabur pengusaha; PHK buruh sewenang-wenang dan pesangon tidak dibayarkan; dengan alasan kinerja perusahaan menurun, upah buruh sekian bulan belum dibayarkan... Daftar kasus di atas masih dapat diperpanjang, tetapi yang pasti negara terlihat tidak berdaya.
Semantara itu, kebijakan yang relatif paling baik dari yang terburuk bagi buruh yang dihasilkan melalui advokasi kebijakan yang panjang oleh para aktivis, misalnya, sering kali menjadi percuma karena tidak dapat diberlakukan, atau tidak dapat ditegakkan (dalam bahasa Tjandraningsih dan Nugroho: tidak tegaknya hukum). Dalam pengamatan saya, sektor bisnis kini cenderung kian menjadi “dunia yang lain” yang tidak dapat disentuh bahkan oleh negara sekalipun. Negara malah tampak “lebih membutuhkan modal” dengan alasan untuk menciptakan lapangan kerja, meski harus rela membuat aturan yang melanggar hak-hak dasar warga. Negara menjadi subordinat atau bawahan terhadap modal.
Undang-Undang (UU) yang diciptakan, misalnya, selalu memiliki celah untuk dapat diperdebatkan sehingga UU sengaja dibuat tak lebih dari sekadar pernyataan tentang suatu kebijakan, yang tujuannya kelak agar dapat ditafsirkan oleh Peraturan Pemerintah (misalnya dibuatnya Rencana Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Kompensasi PHK) berdasarkan kepentingan kolaborasi negara dan modal. Bagaimana menghadapi kondisi ini?
Deglobalisasi sebagai Solusi
Untuk melawan fleksibilisasi pasar kerja dan globalisasi modal, saya lebih cenderung kembali menawarkan konsep “deglobalisasi” yang pernah saya tulis di blog ini (lihat a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2007/03/deglobalisasi.html">di sini). Seperti kita tahu, globalisasi tidak lain adalah cerita tentang bagaimana modal transnasional yang kuat melindas ekonomi-ekonomi lokal sebagaimana terjadi dalam gerak pertama dari kerangka analisis Karl Polanyi tentang gerakan ganda (double movement) di mana “pasar yang mengatur dirinya sendiri” (self-regulating market; baca: kapitalisme) memperluas cakupan komodifikasinya hingga mencakup juga berbagai bidang yang tadinya dalam masyarakat prakapitalisme masih termasuk dalam wilayah bukan pasar, termasuk di dalamnya bidang kehidupan. Menurut pandangan ini, globalisasi menimbulkan banyak ketercerabutan sosial karena hancurnya sistem sosial yang logikanya kian dikebawahkan pada logika pasar semata-mata. Secara ekonomis hal ini berarti hancurnya ekonomi-ekonomi lokal, dan globalisasi sekali lagi adalah kisah tentang termarjinalkannya komunitas ekonomi, sosial, dan budaya lokal.
Karenanya, dalam hal menghidupkan kembali komunitas, budaya dan ekonomi nasional, perlu upaya melawan globalisasi ini dengan melakukan apa yang disebut sebagai gerakan deglobalisasi di atas. Ide deglobalisasi secara singkat merupakan upaya membongkar kekuatan korporasi dan pasar keuangan global, dan merupakan upaya membangun kembali hubungan sosial, komunitas, lingkungan, dan ekonomi domestik. Tentu gagasan ini tidaklah sederhana, dan salah satu prasyaratnya ialah memampukan negara berperan melindungi warga, yang menjadi inti dari perdebatan antara Coen dan Tjandraningsih-Nugroho pada kesempatan ini.
Untuk itu, kini kita semakin ditantang untuk mengembangkan gerakan deglobalisasi dengan terus mencari bentu-bentuk kongkritnya, setelah kita berupaya merehabilitasi konsep dan tindakan politik, serta memaknai kembali konsep negara dengan pertama-tama menganggap “negara” sebagai “kita.”***
Kepustakaan:
Bello, Walden, "Deglobalizaation. Ideas for a New Worrd Economy," London & New York: Zed Books, 2004.
Fahmi, Ismail, “Tindakan Politis: Menimbang Pemikiran Aristotelian Hannah Arendt”, Jurnal Filsafat Driyarkara, Vol. 26, No.1, 2002.
Hadiz, Vedi R, “The Politics of Labour Movements in Southeast Asia,” dalam Mark Beeson (ed.), "Contemporary Southeast Asia: Regional Dynamics, National Differences," Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan, 2004; diterjemahkan berjudul “Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara,” dalam Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, Vol.3 No.2, 2005.
Imam, Robert H, “Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual,” dalam I Wibowo et al., (eds), "Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno," Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Wood, Ellen Meiksins, “Labor, Class and State in Global Capitalism” dalam Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates (eds), "Rising from the Ashes: Labor in the Age of 'Global' Capitalism," New York: Monthly Review Press, 1998.
I Fahmi Panimbang
MELANJUTKAN kritik Coen tentang peran negara dalam “Masih Efektifkah Negara Budiman?” di blog ini (lihat a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2007/10/masih-efektifkah-negara-budiman.html">di sini), saya ingin turut berbagi pendapat. Saya sepakat bahwa negara kini memiliki peran lebih besar dalam melancarkan gerak modal, di mana saya lebih melihatnya sebagai bertemunya dua kepentingan – yaitu elite pejabat (negara) dan pengusaha (modal) – yang satu sama lain saling menguntungkan. Identitas antara kepentingan negara dan modal terlihat semakin dekat. Tetapi saya lebih melihat “momen saling menguntungkan” ini sebagai tekanan dari atas, yakni modal, atas negara.
ui name='more'>Secara teoritis sebenarnya, seperti diungkapkan Wood dalam “Labor, Class and State in Global Capitalism” (1998), kolaborasi negara dan modal tersebut seharusnya melahirkan partisipasi politik yang lebih besar dari warga untuk menentang kebijakan negara yang lebih memihak modal. Kedekatan identitas antara kepentingan negara dan modal telah mendorong rakyat untuk turun ke jejalanan menentang kebijakan neoliberal. Ini adalah asumsi teoritis. Tetapi seberapa sahih argumentasi Wood untuk konteks Indonesia? Mencermati konteks dan sejarah depolitisasi yang kuat dan lama atas rakyat di negeri ini, sepertinya relatif sulit untuk mengharap ‘ramalan’ Wood di atas terjadi secara berarti.
Memaknai Kembali Negara
Mungkin kita perlu memaknai kembali konsep negara. Untuk saya, ”negara” adalah ”kita”. Maksudnya, negara merupakan arena bagi siapapun dan ruang pertarungan kepentingan kelompok manapun, termasuk pengusaha. Sudah lama kita menganggap bahwa negara dan tindakan politik sebagai “di luar” aktivitas kita; dan selama itu pula para pengusaha yang terus mampu mengorganisir diri dengan baik dan dengan kemampuan mobilisasi sumber daya dapat ‘menguasai’ arena negara. Mereka mampu mempengaruhi pemerintah dan beraliansi dalam suatu rezim kekuasaan. Tidak heran jika “Globalisasi dari Atas” (baca: desakan modal) selalu lebih canggih dan sulit dibendung oleh “Globalisasi dari Bawah” (resistensi gerakan rakyat). Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan gerakan rakyat selalu tertinggal dan sangat kurang optimal dalam memanfaatkan banyak peluang yang diciptakan globalisasi. Padahal, aliansi negara dan modal bukanlah kejadian yang deterministik dan tak dapat diubah, sebab kedua entitas itu secara inheren juga memiliki potensi perpecahan.
Mengutip Wood, Coen menyebutkan bahwa saat ini “kapital (modal) membutuhkan negara untuk mengelola kondisi-kondisi yang ajeg bagi kepentingan akumulasi, untuk menciptakan buruh yang berdisiplin, dan untuk mempercepat mobilitas kapital sementara di saat yang sama, menekan pergerakan tenaga kerja”. Hemat saya, ini karena arena negara benar-benar ‘dikuasai’ oleh kepentingan pengusaha, politisi, pejabat, dan aparat negara; dan karena prosedur demokrasi sampai saat ini belum mampu memfasilitasi kepentingan publik yang lebih luas.
Perlu segera dicatat di sini, yang menjadi soal bukanlah adanya pengusaha, politisi, elite pejabat, atau aparat negara. Mereka adalah sekelompok warga yang dapat menjadi elite oligarkis yang selalu ada dalam fenomena kekuasaan manapun. Yang menjadi masalah ialah pengawasan dan disiplin dalam pengorganisasian politik: Sejauh mana rakyat mampu mengawasi mereka dan menetapkan aturan yang adil, terutama bagi mereka yang paling kurang beruntung. Mekanisme pengawasan ini seharusnya terinstitusionalisasi. Selain itu, kita juga perlu merehabilitasi makna “politik dan negara” yang selama ini relatif dangkal.
Namun demikian, kasus di Indonesia sekaligus menunjukkan antitesa dari posisi Wood di atas, bahwa “kini modal lebih membutuhkan negara.” Di Indonesia tidak jarang yang terjadi adalah bahwa dengan posisi tawar-menawar yang relatif tinggi modal kerap berbuat sewenang-wenang. Kita terus diperlihatkan banyak kasus pelanggaran hak warga yang dilakukan pengusaha: pabrik tutup tiba-tiba dan buruh ditinggal kabur pengusaha; PHK buruh sewenang-wenang dan pesangon tidak dibayarkan; dengan alasan kinerja perusahaan menurun, upah buruh sekian bulan belum dibayarkan... Daftar kasus di atas masih dapat diperpanjang, tetapi yang pasti negara terlihat tidak berdaya.
Semantara itu, kebijakan yang relatif paling baik dari yang terburuk bagi buruh yang dihasilkan melalui advokasi kebijakan yang panjang oleh para aktivis, misalnya, sering kali menjadi percuma karena tidak dapat diberlakukan, atau tidak dapat ditegakkan (dalam bahasa Tjandraningsih dan Nugroho: tidak tegaknya hukum). Dalam pengamatan saya, sektor bisnis kini cenderung kian menjadi “dunia yang lain” yang tidak dapat disentuh bahkan oleh negara sekalipun. Negara malah tampak “lebih membutuhkan modal” dengan alasan untuk menciptakan lapangan kerja, meski harus rela membuat aturan yang melanggar hak-hak dasar warga. Negara menjadi subordinat atau bawahan terhadap modal.
Undang-Undang (UU) yang diciptakan, misalnya, selalu memiliki celah untuk dapat diperdebatkan sehingga UU sengaja dibuat tak lebih dari sekadar pernyataan tentang suatu kebijakan, yang tujuannya kelak agar dapat ditafsirkan oleh Peraturan Pemerintah (misalnya dibuatnya Rencana Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Kompensasi PHK) berdasarkan kepentingan kolaborasi negara dan modal. Bagaimana menghadapi kondisi ini?
Deglobalisasi sebagai Solusi
Untuk melawan fleksibilisasi pasar kerja dan globalisasi modal, saya lebih cenderung kembali menawarkan konsep “deglobalisasi” yang pernah saya tulis di blog ini (lihat a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2007/03/deglobalisasi.html">di sini). Seperti kita tahu, globalisasi tidak lain adalah cerita tentang bagaimana modal transnasional yang kuat melindas ekonomi-ekonomi lokal sebagaimana terjadi dalam gerak pertama dari kerangka analisis Karl Polanyi tentang gerakan ganda (double movement) di mana “pasar yang mengatur dirinya sendiri” (self-regulating market; baca: kapitalisme) memperluas cakupan komodifikasinya hingga mencakup juga berbagai bidang yang tadinya dalam masyarakat prakapitalisme masih termasuk dalam wilayah bukan pasar, termasuk di dalamnya bidang kehidupan. Menurut pandangan ini, globalisasi menimbulkan banyak ketercerabutan sosial karena hancurnya sistem sosial yang logikanya kian dikebawahkan pada logika pasar semata-mata. Secara ekonomis hal ini berarti hancurnya ekonomi-ekonomi lokal, dan globalisasi sekali lagi adalah kisah tentang termarjinalkannya komunitas ekonomi, sosial, dan budaya lokal.
Karenanya, dalam hal menghidupkan kembali komunitas, budaya dan ekonomi nasional, perlu upaya melawan globalisasi ini dengan melakukan apa yang disebut sebagai gerakan deglobalisasi di atas. Ide deglobalisasi secara singkat merupakan upaya membongkar kekuatan korporasi dan pasar keuangan global, dan merupakan upaya membangun kembali hubungan sosial, komunitas, lingkungan, dan ekonomi domestik. Tentu gagasan ini tidaklah sederhana, dan salah satu prasyaratnya ialah memampukan negara berperan melindungi warga, yang menjadi inti dari perdebatan antara Coen dan Tjandraningsih-Nugroho pada kesempatan ini.
Untuk itu, kini kita semakin ditantang untuk mengembangkan gerakan deglobalisasi dengan terus mencari bentu-bentuk kongkritnya, setelah kita berupaya merehabilitasi konsep dan tindakan politik, serta memaknai kembali konsep negara dengan pertama-tama menganggap “negara” sebagai “kita.”***
Kepustakaan:
Bello, Walden, "Deglobalizaation. Ideas for a New Worrd Economy," London & New York: Zed Books, 2004.
Fahmi, Ismail, “Tindakan Politis: Menimbang Pemikiran Aristotelian Hannah Arendt”, Jurnal Filsafat Driyarkara, Vol. 26, No.1, 2002.
Hadiz, Vedi R, “The Politics of Labour Movements in Southeast Asia,” dalam Mark Beeson (ed.), "Contemporary Southeast Asia: Regional Dynamics, National Differences," Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan, 2004; diterjemahkan berjudul “Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara,” dalam Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, Vol.3 No.2, 2005.
Imam, Robert H, “Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual,” dalam I Wibowo et al., (eds), "Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno," Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Wood, Ellen Meiksins, “Labor, Class and State in Global Capitalism” dalam Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates (eds), "Rising from the Ashes: Labor in the Age of 'Global' Capitalism," New York: Monthly Review Press, 1998.
Title : Perlunya Memaknai Kembali Konsep Negara ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/10/perlunya-memaknai-kembali-konsep-negara_7.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Perlunya Memaknai Kembali Konsep Negara ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment