Eli Salomo: Seharusnya aktivis LSM perburuhan berintegrasi dengan buruh

Posted by Unknown on 10/30/07

Eli Salomo: Seharusnya aktivis LSM perburuhan berintegrasi dengan buruh - BICARA gerakan sosial di Indonesia, tak bisa dipungkiri, kita mesti menunjuk pada keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi ini, hadir di mana-mana di segala bidang kehidupan. Walaupun, kita bisa berdebat apakah benar LSM merupakan representasi yang nyata dari gerakan sosial.

Tentang soal ini, telah bermunculan kritik. Khususnya di Amerika Latin, kehadiran LSM dipandang dengan sikap curiga. Para aktivis LSM dianggap telah menjadi lapisan sosial baru yang terpisah dari masyarakat. Lebih jauh lagi, LSM dipandang telah menjadi alat untuk memoderasi dan mengkooptasi gerakan sosial progresif, sehingga tinggal sebagai kelompok penekan.

Lantas, bagaimana keberadaan LSM di Indonesia? Apakah fenomena yang terjadi di Amerika Latin, menular di sini? Berikut ini perbincangan kolektif Jurnal perburuhan SEDANE, dengan Eli Salomo, Ketua KAB (Komunitas Advokasi Buruh) Jakarta, dan Anggota FKBC (Forum Komunikasi Buruh Cikarang), Bekasi.

Perbincangan dengan Eli Salomo ini adalah bagian pertama dari seri wawancara yang memperdebatkan topik yang sama. Bagian kedua adalah wawancara dengan Michelle Ford, Dosen Universitas Sidney, Australia.
ui name='more'>
SEDANE (S): Bagaimana Anda melihat kemunculan LSM dalam konteks Indonesia secara umum?

Eli Salomo (ES): Secara historis harus diakui kemunculan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak bisa dilepaskan dari upaya korporasi yang membentuk lembaga sosial. Banyak LSM menjadi bagian atau didanai oleh korporasi, misalnya perusahaan otomotif Ford di AS.

Memang dalam era 1970-an di Indonesia banyak muncul LSM internasional yang berfungsi membangun kapasitas masyarakat. Hingga tahun 80-an, LSM-LSM tersebut berperan sebagai pengkritik dan pengimbang rezim Orde Baru.

Di bidang perburuhan, kemunculan LSM bukan semata-mata karena buruh tidak diberi ruang dalam korporatisme negara tetapi, juga karena otoritas negara yang terlalu kuat dan sewenang-wenang. Tetapi, keberadaan LSM di Indonesia, termasuk LSM perburuhan, tidak bisa dilepaskan dari LSM di luar negeri karena kebanyakan mereka bukan hidup dari swadaya anggota atau masyarakat, tetapi didukung oleh lembaga donor.

S: Kenapa akhirnya LSM di Indonesia saat ini mendapat citra berada di luar gerakan sosial?

ES: Citra itu baru muncul sekarang ini ketika ada peluang demokratisasi. Pada gerakan buruh dahulu tak ada serikat yang diizinkan selain Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). LSM perburuhan mendorong kebebasan berserikat dan membantu buruh memperjuangkan hak-haknya. Karenanya saat itu LSM dan serikat buruh saling membutuhkan. Gerakan buruh membutuhkan LSM untuk pendidikan dan kesadaran mereka, sementara LSM butuh proposal untuk menggalang dana. Di sini, gerakan buruh yang dibangun LSM selalu memunculkan banyak konflik. Malah banyak konflik yang terjadi di LSM menular hingga tingkat serikat buruh. Ini penyakit.

S: Apakah dahulu LSM Perburuhan dibutuhkan?

ES: Ya. Sangat dibutuhkan, karena akses buruh terhadap informasi terbatas.

S: Ada pendapat bahwa pemosisian kaum intelektual seperti LSM perburuhan di luar gerakan adalah implikasi dari aturan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Tapi belakangan resistansi serikat terhadap LSM adalah terutama pada masalah kepercayaan dan keterbukaan keuangan. Bagaimana Anda mengomentari ini?

ES: Bahkan HIP lebih jauh telah membatasi dengan menganggap bahwa gerakan buruh adalah gerakan serikat di tingkat pabrik. Citra yang dibangun ialah bahwa persoalan buruh bisa diselesaikan dengan damai karena relasi buruh dan majikan saling menguntungkan dan membutuhkan, karenanya harus harmonis. Kebijakan ini mengisolir buruh dari kekuatan luar seperti akademisi, LSM, mahasiswa.

Pembuatan kebijakan satu serikat buruh (SPSI) sebagai satu-satunya yang sah, yang prosesnya saat itu difasilitasi oleh FES (Friedrich Ebert Stiftung), telah secara sistematis melemahkan gerakan buruh. Maka tentu relasi LSM yang mengadvokasi buruh saat itu kebanyakan dengan kelompok-kelompok buruh, bukan dengan serikat resmi, SPSI. Memang tidak ada hubungan legal antara LSM dengan serikat buruh. Konsekuensinya pun akhirnya konflik selalu terjadi tidak secara terbuka.

Sekarang sudah lebih terbuka dan persoalan kepercayaan di antaranya muncul karena apa yang dilakukan LSM yang kebanyakan berasal dari kelas menengah hanya didasarkan pada empati mereka pada nasib buruh, sedangkan buruh berjuang berdasarkan apa yang menjadi tuntutan dan kondisi obyektif. Seringkali LSM mengangkat naik aktivis buruh menjadi sekelas dengannya, bukan sebaliknya. Pola ‘mengkatrol’ ini menjadi masalah karena elitisme di serikat juga merupakan masalah tersendiri dalam grakan buruh. Terdapat kecemburuan dan kecurigaan ketika elite-elite ini dipelihara oleh LSM. Seharusnya aktivis LSM yang berintegrasi dengan buruh.

Apa yang disampaikan LSM dalam pendidikan mengenai transparansi, demokrasi, serikat buruh tidak banyak tahu apakah itu juga diimplementasikan di dalam LSM. Banyak konflik terjadi karena serikat dianggap sebagai produk LSM. Buruh merasa menjadi komoditas. Semakin besar jumlah buruh yang ‘didampingi’ suatu LSM, semakin besar pula dana yang didapat LSM tersebut dari lembaga donor. Sampai hari ini tidak ada upaya membangun kepercayaan. Sekarang jumlah LSM perburuhan kian menurun, tentu karena perburuhan bukan lagi menjadi issu yang menarik bagi lembaga donor.

Tiap serikat buruh selalu berdasarkan pada suatu ideologi, karena jika tidak ia menjadi kendaraan yang tak bisa apa-apa, hanya aktivisme. Sementara itu, LSM tak memiliki ideologi dan cenderung alergi pada ideologi. Jadi jelas, dasar keberadaan antara aktivis buruh dan aktivis LSM berbeda.

Banyak kritik bahwa program yang dilakukan LSM hanyalah program. Tidak ada tujuan yang lebih jauh. Sebetulnya ini bisa saja dimanfaatkan oleh serikat buruh untuk kepentingan mereka lebih jauh, tapi hal ini menjadikan relasi LSM dan serikat sangat fungsional dan sangat taktis. Tidak ada integrasi antarkeduanya dan relasi yang fungsional tersebut akan mengawetkan LSM selalu berada di luar gerakan buruh.

S: Bukankah ada LSM yang juga memiliki ideologi atau karakter gerakan?

ES: Dalam konteks Indonesia, saya melihat tidak ada LSM yang punya karakter gerakan. LSM merupakan “perpanjangan” lembaga donor. Dalam gerakan buruh, sering sekali relasi antara serikat dan LSM membuat ketergantungan terus menerus terhadap lembaga donor, padahal salah satu kunci gerakan buruh adalah terbangunnya sumber daya ekonomi mandiri dalam serikat itu. Sebab, dari situlah mereka mampu membuat gerakan tanpa pernah tergantung pada pihak manapun. Sementara, politik LSM membuat politik ketergantungan.

S: Apa peran LSM perburuhan pasca-reformasi? Apakah ada perubahan posisi?

ES: LSM akhirnya cenderung gagal dalam melakukan reposisi. Saat ini situasi sudah terbuka dan buruh mulai berani membangun organisasi mandiri di luar serikat yang difasilitasi negara. LSM seharusnya bisa mengambil peran-peran strategis lainnya tanpa menganggu upaya perjuangan dan pembelajaran serikat. Misalnya, tugas serikat itu mendidik anggotanya untuk sadar dan demokratis. Tetapi LSM masih tetap memfasilitasi pendidikan serikat. Padahal sekarang pendidikan di serikat harus dilakukan sendiri oleh serikat. Sejak persiapan bahan-bahan hingga proses. Mestinya LSM harus menjadi mitra berkonsultasi tehadap kebutuhan-kebutuhan apa yang bisa didukung dalam proses gerakan buruh saat ini. Bukan menjadi kunci apa yang mesti dilakukan gerakan buruh.

S: Jadi pendidikan buruh mutlak harus dilakukan oleh serikat buruh?

ES: Pada kasus tertentu, LSM dimungkinkan memfasilitasi pendidikan di serikat buruh. Misalnya, saat menjelang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) banyak serikat buruh yang minta difasilitasi pendidikan PPHI. Jadi kebutuhan pendidikan itu muncul dari dalam serikat, bukan dari abstraksi LSM. Sering LSM perburuhan membuat program untuk buruh tanpa tahu secara jelas bagaimana perkembangan di serikat buruh. Itu masih sering terjadi.

Di akar rumput, anggota serikat buruh, kebutuhan terhadap LSM sebetulnya tidak ada. Paling yang dibutuhkan ialah akses terhadap informasi, karena biasanya buruh terlambat mengakses informasi. Selain itu seharusnya semuanya dilakukan oleh serikat.
Informasi yang berkenaan dengan buruh, kebijakan negara yang berkaitan dengan mereka, atau gerak modal yang berdampak pada mereka.

S: Tampaknya kuantitas LSM perburuhan pun saat ini kian sedikit?

ES: Ya, relatif berkurang. Karena perubahan situasi dari fase otoriter ke fase yang lebih terbuka dan banyak persoalan-persoalan sosial yang bergeser. Saat ini, misalnya, banyak LSM yang berkonsentrasi ke isu korupsi. LSM perburuhan saat ini relatif tidak dibutuhkan, karena sekarang yang dibutuhkan ialah penataan menuju clean governance.

Penguatan dan pemberdayaan yang dilakukan LSM tanpa disadari merupakan manipulasi. Maksudnya, aktivis berlomba-lomba memberikan penyadaran pada masyarakat bahwa mereka harus mandiri dan berdaya. Di sini, tampak bahwa kewajiban-kewajiban negara dilupakan. Banyak fungsi negara yang diambil LSM sehingga terjadi disorientasi, seakan-akan bukanlah kewajiban negara. Ini merupakan salah satu efek peran LSM selama ini.

S: Di bidang perburuhan apa contoh pengambil-alihan peran negara oleh LSM?

ES: Fungsi negara seharusnya melindungi buruh dan masyarakat pada umumnya. Undang-undang dasar menyebutkan, fungsi negara ialah menjamin tiap warga negara mendapat pekerjaan. Tetapi, setiap ada masalah perburuhan yang sibuk ternyata LSM. Mestinya negara. Negara yang seharusnya melakukan pengawasan dan perlindungan.

S: Menurut beberapa pengamat tradisi keserikatburuhan politik yang dulu pernah dilakukan (SOBSI) sudah hancur. Semua serikat buruh, termasuk di Indonesia, didorong untuk berorientasi pada ekonomi yang lepas dari perjuangan politik. Bagaimana merefleksikan fenomena ini?

ES: Refleksinya begini: kalau dulu pada fase otoriterisme Suharto serikat buruh melakukan gerakan cukup efektif dan integratif pada kelompok-kelompok buruh, maka fase sekarang adalah fase panen. Seharusnya kemajuan gerakan buruh saat ini lebih efektif. Tapi kecenderungannya tidak demikian. Contohnya: UU No 13 dan UU No 2 tetap tidak bisa dihadang meskipun telah terjadi banyak aksi.

Saat ini belum banyak serikat yang memiliki perspektif gerakan yang terintegrasi antara gerakan ekonomi dan politik. Mereka mewarisi kesadaran yang ditanamkan pada fase orde baru bahwa fungsi serikat adalah fungsi ekonomis. Apalagi dibatasi oleh pemikiran bahwa serikat itu adalah pengurus unit kerja (PUK). Buruh belum melihat bahwa penindasan terhadap mereka oleh pabrik adalah dampak dari sistem negara.

Buruh lebih mengutamakan status. Status pekerja, walaupun kontrak, dirasa lebih baik ketimbang tidak bekerja atau petani. Situasi objektif menantang untuk mendorong kesadaran berorganisasi dan menemukan apa persoalan yang sebenarnya terjadi. Tapi banyak yang menghambat kesadaran ini.UU PPHI juga menghambat kesadaran ini.

Ada juga tindakan yang sistematis untuk melanggengkan serikat buruh kuning (SPSI) karena ini penting untuk pemerintah dan modal. Dan ini dampak disorganisasi orde baru.

S: Apakah itu juga menjadi kesalahan LSM, rezim yang terlalu keras, atau SPSI terlalu kuat untuk ditumbangkan?

ES: SPSI tidak terlalu kuat. Tapi, SPSI tetap menjadi kendaraan yang efektif untuk digunakan terus-menerus. Contoh kasus saat ini adalah isu upah sektoral. Yang menggembar-gemborkan isu ini adalah SPSI sendiri. Dan ini bisa berakibat pada pecahnya konsolidasi gerakan buruh. Karena akan menimbulkan kecemburuan.

S: Apakah itu problem bagi internal gerakan buruh?

ES: Ya. Bagi gerakan buruh demokratik itu adalah problem. Dengan ini solidaritas gerakan buruh jadi terpecah lagi.

S: Siapa yang mendorong upah sektoral dan apa alasannya?

ES: SPSI. Alasannya karena sektor tertentu menghasilkan harga yang lebih tinggi dan membutuhkan keterampilan (skill) yang lebih tinggi juga. Padahal di Indonesia tidak ada pekerjaan (di sektor manufaktur) yang membutuhkan keterampilan yang rumit. Dan itu adalah politik perindustian kapitalis internasional yang memposisikan Indonesia sebagai industri-industri yang tidak pokok dan tidak butuh keterampilan.

S: Lalu, bagaimana menanggapi isu upah sektoral?

ES: Menurut saya isu upah sektoral tidaklah penting. Kesejahteraan bersama yang seharusnya menjadi isu bersama. Pada 46 pasal tentang hidup layak dalam undang-undang, sebenarnya sangatlah tidak layak. Malah secara kualitas lebih minim dari upah minimum tahun lalu yang hanya 43 pasal.

S: Lalu, bagaimana mendorong kesejahteraan bersama?

ES: Tidak mudah. Harus menelanjangi apa yang ada di balik upaya memperjuangkan upah sektoral, dengan cara diskusi internal. Sudah diketahui sejak dulu bahwa musuh buruh bukan hanya dari luar dirinya tapi juga dari dalam dirinya. SPSI sudah lama digunakan bukan untuk kepentingan buruh tapi, untuk kepentingan modal dan negara. Jadi menurut saya upah sektoral itu makin melemahkan gerakan buruh yang sudah menyadari pentingnya gerakan yang kolektif. Yang harus diwaspadai, tidak semua serikat buruh memperjuangkan kepentingan buruh. Jadi upah sektoral itu hanya untuk memecah belah bukan untuk kepentingan kaum buruh.

S: Jika hanya memperjuangkan upah, bukankah akan terjebak pada kerja-kerja keserikat-buruhan ekonomis?

ES: Itu yang harus dilihat. Bicara soal upah sebenarnya tidak semata-mata tentang ekonomi saja. Karena di dalamnya ada sistem negara yang menentukan dan ada politik perburuhan yang menentukan bahwa buruh di Indonesia harus murah.

Saat ini sudah banyak yang melihat politik pengupahan. Serikat buruh kuning masuk pada sistem dewan pengupahan. Mereka menentukan upah. Walaupun akhirnya banyak anggotanya yang kecewa dan melakukan aksi. Misalnya di Jakarta, SPN itu masuk di dewan pengupahan tapi anggota SPN melakukan penolakan.

S: Kembali ke soal relasi LSM. Pada kenyataannya masih ada LSM perburuhan yang bekerja sama dengan serikat buruh? Biasanya dalam bentuk apa?

ES: Paling banyak dalam advokasi dan pendidikan.

S: Faktor apa yang membuat mereka tetap bekerja sama padahal kebutuhan serikat buruh sudah mengecil?

ES: Lebih karena ketergantungan yang muncul bagi serikat-serikat yang sudah ada. Bagi buruh yang belum berserikat karena ketidaktahuan mereka, mereka melakukan advokasi dan itu masih banyak. Seharusnya LSM mengambil buruh-buruh yang belum berserikat. Jika sudah berserikat harusnya advokasi itu dilakukan serikatnya. Masih banyak pabrik yang belum berserikat dan banyak persoalan di dalamnya.

S: Apakah anda setuju dengan tren sekarang ini bahwa LSM perburuhan dan intelektual-intelektual yang bukan buruh harus tetap berada di luar gerakan buruh agar serikat bisa berdiri sendiri?

ES: Tidak semata-mata itu. Yang muncul menjadi persoalan karena tidak ada kejelasan pengambilan posisi kerja, yang membuat serikat menjadi tergantung.

S: Jadi permasalahan relasi kelompok tertentu dengan serikat buruh adalah (1) harus ada kesejajaran, (2) pembangunan kepercayaan, dan (3) integrasi kelompok menengah dengan serikat buruh. Ada yang lain?

ES: Itu saja yang penting. Kepercayaan bisa terjadi bila ada pertanggungjawaban apa saja yang dilakukan LSM dalam gerakan buruh. Selama ini sering sekali LSM membuat program kerja hanya untuk sebuah program tanpa mampu mengintegrasikan pada satu perjuangan. Keberhasilan suatu program menjadi tidak penting. Yang penting program telah dijalankan.

Seharusnya, pada forum yang lebih besar bisa dilakukan. LSM perburuhan melakukan kerja bersama dengan kelompok-kelompok buruh, tapi dengan komitmen dan peraturan yang jelas. Ada mekanisme bersama yang jelas. Misalnya program apa yang harus dilakukan LSM, apa parameter keberhasilannya, bagaimana pendanaannya, bagaimana penggunaan dananya. Poin pentingnya adalah: mau tidak aktivis LSM mengintegrasikan diri, bukan menularkan budaya mereka ke buruh, tapi mempelajari budaya buruh.

S: Kalau KAB dimana memposisikan diri dalam konstelasi gerakan buruh?

ES: Saat ini kami mencoba melebur dalam organisasi buruh. Kami masuk dalam serikat buruh.

S: Menjadi anggota?

ES: Iya, misalnya di Forum Komunikasi Buruh Cikarang (FKBC). Ada juga dari KAB yang jadi pengurus di FKBC ini.

S: Bagaimana respon teman-teman serikat buruh yang lain di FKBC terhadap KAB?

ES: Selama ini tidak ada persoalan karena, setiap program di buat bersama, setelah itu pembagian tugas.

S: Ada kelompok menengah yang lain tidak selain KAB di FKBC?

ES: Tidak ada. Tapi kita memberi syarat kepemimpinan harus dari mereka (buruh). Kita hanya mengarahkan bagaimana mengurus manajemen organisasinya. Bagaimana mengurus organisasi yang baik. Fungsi kelompok menengah ‘kan memang untuk merekayasa dalam membangun sesuatu. Tapi keputusan tertingginya tetap pada quorum yang didominasi oleh buruh.

S: Dengan asumsi dan keyakinan bahwa kebijakan untuk menyejahterakan buruh itu harus dari, oleh dan untuk buruh?

ES: Itu hal yang pertama. Hal yang kedua, yang paling penting, dalam setiap program bukan hanya pada hasilnya tapi juga bagaimana proses kegiatan itu meningkatkan kesadaran lebih luas pada mereka. Baik yang bersifat kualitatif maupun yang bersifat keyakinan mereka pada gerakan yang lebih jauh. Karena mayoritas LSM seperti KAB, kaum menengah yang sewaktu-waktu dapat meninggalkan gelanggang gerakan ini. Tidak ada yang mengikat kecuali komitmen. Jadi kalau kelompok menengah memposisikan diri di atas serikat maka akan menjadi liar. Tapi kalau dia memposisikan berada setara dengan serikat, maka semua gerakan kaum menengah ini bisa dikontrol oleh buruh. Interaksi ini dibentuk di sini.

Kalaupun ada kaum menengah yang punya kesadaran yang sama dengan kaum buruh, itu ‘kan hanya kesadaran buku, bukan kesadaran objektif. Berbeda dengan buruh, keyakinan itu lahir dari kondisi objektif yang mereka saksikan dan mereka rasakan. Maka yang terpenting dari proses integrasi itu adalah proses penguatan iman dari kaum menengah (ideologisasi).

S: Apakah KAB merupakan LSM?

ES: Ya. Tapi LSM kan biasanya paramenternya adalah apakah ia berelasi dengan lembaga donor. KAB memilih untuk tidak berelasi dengan lembaga donor.

S: Berarti ada LSM merah dan kuning. Merah maksudnya punya karakter gerakan dan kuning berarti tak berideologi dan tak jelas?

ES: Semua serikat buruh punya karakter gerakan, yang ‘serikat buruh ekonomi’ sekalipun. Tinggal konsistensi memperaktekan gerakan dan apa yang menjadi landasan gerakan itu. Itu yang menjadi persoalan.

S: SPSI misalnya, semata-mata hanya berkutat di upah, advokasi, servis anggota tanpa melihat lebih luas lagi bahwa apa yang terjadi sekarang adalah hasil dari kebijakan negara, hasil dari globalisasi. Nah, apakah yang seperti ini masih bisa disebut berkarakter?

ES: Kalau mau kita lihat dari istilah gerakan, harus berangkat dari kebutuhan nyatanya, baru kita bicara gerakan. Serikat buruh kuning itu, saya lihat bukan gerakan buruh sejati.

S: Tapi masih merupakan bagian dari gerakan buruh?

ES: Tidak bisa disebut sebuah gerakan karena mereka muncul bukan dari kebutuhan sejati massa atau anggotanya. SPSI lebih banyak menurunkan gagasan kebutuhan program tuntutan dari elite.

Gerakan selalu berakar dari bawah. Kalau bicara gerakan, kita bicara tentang penyadaran dan pembebasan. Sering sekali serikat seperti itu malah kembali memenjarakan pikiran buruh. Hanya merupakan organisasi yang beraktifitas pada pesoalan perburuhan.

S: Jadi di tingkat serikat buruh tidak semuanya terlibat dalam gerakan, dan di LSM (seperti KAB) ada yang berkarakter gerakan?

ES: Ya. Berusaha berkarakter gerakan.

S: Catatan secara umum untuk LSM atau kelompok-kelompok lain yang berelasi dengan buruh?

ES: Relasi antara LSM dan serikat buruh hasilnya bisa bernilai positif bila terjadi komunikasi yang benar, di mana masing-masing kelompok mengambil peran dalam situasi yang bobrok. Tapi bisa pula menjadi negatif bila situasi yang terbuka seperti saat ini gerakannya masih didominasi oleh LSM, karena itu tidak akan menumbuhkan kepemimpinan pada kelompok-kelompok gerakan buruh yang kuat di masa-masa mendatang.

Gerakan buruh sejati adalah yang dipimpin oleh kaum buruh, karena kaum menengah setiap saat bisa menjadi apa saja, termasuk menjadi kontra terhadap gerakan buruh.
Maka yang menjadi konsentrasi utama adalah bagaimana membangun gerakan buruh yang demokratis.

Ke depan LSM tidak bisa merumuskan program-programnya, tindakan-tindakannya, semata-mata dari pikiran yang mengawang-awang, tanpa ada landasan fakta yang terjadi di buruh akar rumput.

S: Berarti masih ada ruang untuk peran LSM di gerakan buruh?

ES: Ya, tapi harus pada posisi yang belum bisa dilakukan oleh gerakan buruh. Seperti menyediakan informasi dan pembukaan jaringan.***

Wawancara ini sebelumnya dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, edisi Vol 3 No.2, 2005.



Posts related to Eli Salomo: Seharusnya aktivis LSM perburuhan berintegrasi dengan buruh:

0 komentar | add komentar

Post a Comment