Sejak pidato Presiden Yudhoyono, 17 Agustus lalu, hingga hari ini, mengalir deras SMS, "Mari kita nikmati tumpeng kemerdekaan: nasi beras Thailand, tempe kedelai AS, abon Ausie, buah pisang Brasil, bawang putih China, dan garam India. Kita hanya punya besek bambu, Bung!"
Dengan beragam variasi, SMS seperti itu mengalir ibarat air bah, menghantam gedung perkantoran, perumahan mewah, berbelok ke segala arah, termasuk kampung kumuh. Itu semua merupakan ekspresi yang ingin mengatakan, sampai hari ini sebenarnya kita belum merdeka. Bangku pendidikan masih mahal bagi rakyat, biaya kesehatan tidak terjangkau, pengangguran tinggi, kemiskinan membelit dan pertahanan negara pun rapuh. Indonesia ibarat sawah luas yang puso.
Karena itu, saat Presiden menyebutkan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun, kritik pun tak terbendung. Penggunaan data survei Februari 2005 dan kabar adanya intervensi staf ahli menteri terhadap Badan Pusat Statistik agar menahan data terbaru memperluas jumlah pengkritik.
Akibatnya, sulit dihindarkan, kewibawaan pemerintah kian merosot di mata publik. Perbaikan yang terjadi di bidang keamanan dan penegakan hukum, seperti sia-sia.
"Pinter-bener-banter"
Harus disadari, kini dukungan rakyat kepada pemerintah bukan dukungan politik, tetapi sekadar harapan. Karena itu, jika pemerintah gagal memenuhi harapan itu, rakyat akan menjauhi spektrum pemerintah. Karena itu, Presiden Yudhoyono sebaiknya mengemukakan apa adanya capaian dan kegagalan. Menutupi suatu fakta hanya akan memperlemah kepercayaan dan menggembosi optimisme rakyat.
Untuk posisi saat ini, sejujurnya, keadaan Presiden menjadi lebih sulit ketimbang sebelumnya. Penggunaan data kemiskinan dan pengangguran yang tidak semestinya telah mengikis citra kepemimpinannya. Bersamaan dengan itu, tekanan partai politik menjadi kian intens.
Terlepas dari kepentingan subyektifnya, banyak partai menuntut reshuffle kabinet. Ada beberapa menteri yang mereka nilai tidak perform. Sejumlah nama menteri dan pejabat setingkat menteri disebut-sebut akan diganti.
Namun, kewenangan pergantian menteri sepenuhnya ada di tangan presiden. Semua tergantung keberanian dan kalkulasi politik presiden. Harus jujur diakui, dalam hal pinter (pandai) dan bener (jujur), tidak ada satu pun rakyat yang meragukan Presiden Yudhoyono. Namun, dalam hal banter (cepat dan berani), vivere pericoloso, berani nyerempet-nyerempet bahaya, sejauh ini karakter itu belum kelihatan.
Padahal, sikap kepemimpinan terpenting yang kini dituntut adalah banter (cepat dan berani). Sejauh ini, ada kesan, Presiden Yudhoyono terlalu berhati-hati dalam segala hal. Tanpa keputusan cepat dan berani, sulit membangkitkan optimisme publik yang sudah merosot sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia. Itulah tantangan utama Presiden, yaitu keluar dari kerangkeng perasaan aman.
Surat suara damai
Untuk mendorong Presiden keluar dari kerangkeng perasaan aman dan menjadi sosok yang berkarakter pinter-bener-banter, maka kritik terhadap Presiden dan pemerintah diperlukan. Tanpa kritik, terkesan tidak ada laju demokrasi di republik. Tanpa kritik, Presiden akan dicurigai sedang melakukan akumulasi kekuasaan untuk mengetuk pintu otoriterianisme. Tanpa kritik, tidak ada katalisator optimisme. Dengan demikian, kritik adalah surat suara damai, dia bukan peluru berdarah.
Mencermati kebijakan Presiden sekitar dua tahun ini, ada kesan, pemerintah ingin menyentuh semuanya, tetapi sedikit-sedikit. Argumen bahwa semua persoalan harus diselesaikan perlahan-lahan adalah benar sejauh yang terjadi adalah biasa-biasa saja. Tetapi jika masalah itu bersifat serius, maka hanya dengan tindakan cepat dan berani (banter) masalah itu bisa diatasi, bahkan dibalik keadaannya.
Menyimak arah pergerakan Indonesia saat ini, rasanya kurang bijaksana jika masalah yang membelit bangsa saat ini masih dianggap biasa-biasa. Sulit ditutupi, kita mengalami beberapa kemunduran. Bahkan Kwik Kian Gie mengatakan, kita sedang mengalami kemunduran dalam segala bidang (malaise). Bung Karno menyebutnya zaman "meleset".
Harus diakui, kondisi kita masih sulit. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Demikian juga dengan masalah kesehatan dan pendidikan masyarakat yang belum terjamin dengan baik. Belum lagi jika masalah birokrasi, korupsi, alat pertahanan negara dan lain-lain ikut diperhitungkan. Pendeknya, kita masih dalam kondisi sulit.
Karena itu, sudah waktunya Presiden keluar dari kerangkeng perasaan aman. Demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kelangsungan hidup bangsa, bukan peluru berdarah yang ada, tetapi surat suara damai. Pinter-bener-banter.
*) SUKARDI RINAKIT adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate: Sekjen Pernasindo
Sumber: a hrif="http://www.kompas.com">www.kompas.com, Kamis, 31 Agustus 2006
Title : Bukan Peluru Berdarah ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2006/08/bukan-peluru-berdarah_30.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Bukan Peluru Berdarah ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment