Marhaenis Bergerak (2) - Pengantar redaksi:
Kami menerima kiriman makalah dari penulis yang disampaikan pada Diskusi Panel ‘Tinjauan Kritis Masa Depan Gerakan Kaum Marhaenis’, dalam rangka Pengukuhan Presidium 2006-2008 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perpustakaan Nasional RI, 7 Agustus 2006. Tulisan ini adalah bagian kedua dari dua tulisan. Bagian pertama dari tulisan ini, dapat diakses di a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2006/08/marhaenis-bergerak-1.html">sini.
Budiman Sudjatmikoa hrif="#fn1155578321622n" id="fn1155578321622" class="footnote">1
Peluang: Masyarakat Sipil dan Nasionalisme Ekonomi
Untuk menjamin agar dalam interaksi global ini syarat minimum eksistensi kita terjaga maka apa yang perlu dilakukan kaum Marhaenis? Di sini kita hanya perlu menengok lagi relevansi gagasan nasionalisme dalam bidang ekonomi sebagaimana dulu digagas Bung Karno.
Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Ke ketiga ranah inilah, diskusi kita akan menjurus.
Kita mendapati bahwa ada kaitan yang kompleks dan problematik antara negara sebagai satu entitas politik dan bangsa sebagai satu konsep historis dan kultural. Maksud saya begini: jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan satu konsep politik yang ‘hanya’ dinyatakan dan didokumentasikan melalui teks proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, maka bangsa Indonesia adalah konsep yang sebelumnya dibentuk dari proses budaya, sejarah, ekonomi dan juga politik yang panjang. Ini berupa proses yang jauh lebih rumit dari sekedar perbincangan para pendiri republik (founding parents) pada tahun 1945.
Ringkasnya: Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah (dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi serta mensejahterakan segenap elemen bangsa. Pada kesempatan lain saya bakal tarik diskusi ini lebih mendalam.
Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penyelenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini merupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran!
Karenanya, makna berbangsa dan bernegara Indonesia akan mengambil bentuknya yang paling material sekaligus substansial ketika isi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menjamin keadilan serta kemajuan. Jika urusan-urusan seperti ini sudah bisa jelas, maka urusan-urusan sekitar loyalitas territorial (dalam bentuk integrasi NKRI) hanya merupakan turunan dari fakta bahwa negara memang diadakan untuk melindungi ‘hak-hak’ dari ‘suku-suku bangsa’ yang ada dalam wilayah tersebut.
Di lain sisi, gagasan tentang loyalitas pada bangsa harus dirancang-bangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara bangsa Indonesia. Ia terutama harus berurusan dengan berbagai rupa loyalitas yang berkembang dalam masyarakat sekarang. Misalnya loyalitas pada agama, pada sekte agama, pada klan, kedaerahan, kelompok kepentingan berbasis posisi dalam proses produksi (kelas) dan serupa itu.
Satu langkah ke depan dari proses tersebut adalah tegaknya otoritas politik yang demokratis dan berdaulat dari, oleh dan atas bangsa Indonesia. Tentu saja, dengan mempertimbangkan kemajemukan di atas, otoritas inilah yang nantinya dikukuhkan dalam proses ekspansi produksi, perdagangan dan konsumsi. Dalam proses tersebut, aturan main maupun jurisdiksi ekonominya pada akhirnya menjangkau pada tumbuhnya integritas teritorial.
Namun apa lacur! Di era globalisasi kapital sekarang, rupanya dengan logika komersial yang sama, secara ironis kapitalisme neoliberal malah cenderung untuk melemahkan konsolidasi kebangsaan. Bisa jadi balkanisasi akan berlanjut dengan pemecahbelahan bangsa secara fisik dan cita-cita, yang pada masa kolonialisme lama malah telah dibantu konsolidasinya. Lihatlah! Sama-sama anak kandung dari kapitalisme, selisih antara kolonialisme klasik dengan neoliberalisme serupa langit dan bumi. Yang lama atau klasik membantu mengumpulkan identitas yang berserak menjadi satu bangsa, sementara yang baru atau neo (yang ‘nekolim !’, begitu kata Bung Karno) malah melucutinya !
Hanya melalui pemahaman atas ekspansi yang terus menerus dari kapitalisme melalui negara bangsa inilah, maka kita akan digiring pada versi khusus nasionalisme. Versi ini memiliki watak ekonomi yang dominan, berupa ‘nasionalisme ekonomi.’ Akan tetapi, nasionalisme ekonomi ini mesti menancap berakar pada konteks historis dan kultural yang khas. Puncak kekuatan nasionalisme ekonomi ini malah bukan terletak pada pertentangannya dengan norma-norma sosial dan kultural namun pada kemampuan untuk memadukannya guna memperkuat masyarakat Indonesia modern.
Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait; 1) karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan; 2) negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal.
Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.
Strategi Makro: Koalisi Kepentingan Nasional
Saya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan. Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan.
Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing. Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahan-nya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya.
Dalam menghadapi proses tersebut, soal kelembagaan politik, agama, budaya serta dunia pendidikan memberikan respon masing-masing. Respon yang diberikan bisa progresif dan bisa juga konservatif dalam menghadapi revolusi perubahan posisi dan orientasi watak negara.
Memang tawaran alternatif atas proses reorientasi negara yang kian masuk dalam dunia yang mengglobal bisa berupa-rupa. Ada yang menawarkan pendekatan theokratis, pendekatan sosialistis, populisme nasionalis atau berusaha meredam globalisme neoliberal dengan tetap mempertahankan pendekatan ‘kapitalisme yang berwajah kemanusiaan.’
Semuanya memunculkan harapan dan visinya masing-masing. Manajemen atas harapan rakyat inilah, yang kemudian merupakan perkara pokok yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan (eksekutif) atau para calon pengambil kebijakan yang saling bersaing satu sama lain (para politisi).
Dengan begitu, pikiran-pikiran yang mesti digelar saat ini adalah mencari titik perjumpaan untuk memberi dua jenis rekomendasi ini: Rekomendasi kebijakan, sesuatu yang feasible secara teknis sekaligus politis untuk dieksekusi oleh para pengambil kebijakan; dan yang ke dua adalah rekomendasi perjuangan, yakni rekomendasi yang feasible jika pola kekuasaan politiknya diubah terlebih dulu atau telah memenuhi syarat.
Strategi Mikro: Gerakan Marhaenis pastilah Gerakan Politik!
Sungguh-sungguh saya meyakini bahwa tak satupun yang hadir di sini yang tak berkenan dengan sub-judul ini. Karenanya, mari kita tak terlalu berlarut-larut memperdebatkan urusan tersebut. Jangan sampai mengulang satu hal yang sudah jelas duduk perkaranya. Persoalan ini akan menuntut konsekuensi praktis, bahwa –mau tak mau—Gerakan Marhaenis tidak boleh mengharamkan perjuangan melalui partai (partai-partai) politik.
Namun begitu, saya perlu kembali ke fakta-fakta ini: realitas masyarakat kita berserakan (disorganized) dalam proses produksi maupun politik dan massa Marhaen telah menjadi partikel-partikel atom (atomized particles) yang mengambang hilir mudik mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain.
Karenanya, agar Gerakan Marhaenis bisa bersatu, berbenah dan mengakar, ia hanya bisa dimulai dari ruang-ruang kecil yang tersekat sejak tingkat akar rumput ini. Secara simultan dan dialektis kita juga membangun atau memperkuat kelembagaan politik yang sudah ada melalui partai dan atau koalisi nasional berporos kaum Marhaen, agar kedaulatan rakyat dan seluruh bangsa bisa tegak kembali.
Namun sebagai sebuah gerakan politik yang ideologis, perlu kiranya catatan-catatan ini dibaca:
Jika ideologi merupakan satu cara pandang kita dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat dan dunia yang diteorikan, maka kaum Marhaenis perlu melakukan rasionalisasi politik dalam bentuk satu platform perjuangannya sendiri. Rasionalitas ini mengabdi pada upaya menjawab persoalan-persoalan praktis. Rasionalisasi justru merupakan sebuah sentuhan politik programatis yang tak lain merupakan turunan dari Marhaenisme ajaran Bung Karno.
Rumusan programatik dari gerakan politik kaum Marhenis, karenanya, merupakan terjemahan dari moralitas yang mengacu pada nilai-nilai (values) yang ada pada ajaran Marhaenisme. Acuan nilai inilah yang kemudian diubah menjadi satu kebajikan (virtue) dan kelaikan (feasibility) sebuah program perjuangan politik yang kontekstual dan dinamis. Dengan begitu, ia bisa dibaca oleh seluruh anatomi kehidupan politik dan masyarakat sipil untuk menjawab tantangan-tantangan kekinian. Sehingga pemihakan yang muncul tak lagi disekat oleh sentimen puak-puaknya sendiri-sendiri, budaya maupun gaya hidup masing-masing, melainkan lebih berorientasi pada pemecahan perkara-perkara alokasi sumber daya bagi kesejahteraan.
Kecakapan kader-kader Marhaenis untuk mem-visikan (envisioning), menganalisa, menghitung, mengalokasi, memobilisasi sumber daya, merancang bangun baik institusi maupun instrumentasi, memonitor dan melakukan evaluasi, juga mesti ditumbuh-kembangkan. Sehingga gerakan bakalan cakap melahirkan kapasitas teknokratis di kalangan kader-kadernya yang ideologis dan berakar ke rakyat, seiring credo GMNI: Pejuang, Pemikir dan Pemikir, Pejuang. Ini tak lain adalah sebenar-benarnya mengembangbiak-kan intelektual organik bagi gerakan rakyat Marhaen, yang cerdas, militan dan rendah hati!
Kita layak mencemaskan, jika klaim-klaim ideologis (apapun itu) dirasa sudah cukup memberi kita rasa puas. Karena klaim-klaim ini semata hanya bakalan lebih mengijinkan kita untuk menggerombol, sembari cuma bisa menyaksikan kereta jagatnata (juggernaute) globalisasi neoliberal berarak-arakan melintasi ruang-ruang berpikir kita yang sudah lama tak bertuan. Tanpa institusionalisasi secara politik dan merancang instrumentasi yang laik (feasible), Gerakan Marhaenis bakalan terpeleset menjadi satu perziarahan nostalgik yang hanya berakhir secara tunggang-langgang dan kapiran (self-defeating).
Kami menerima kiriman makalah dari penulis yang disampaikan pada Diskusi Panel ‘Tinjauan Kritis Masa Depan Gerakan Kaum Marhaenis’, dalam rangka Pengukuhan Presidium 2006-2008 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perpustakaan Nasional RI, 7 Agustus 2006. Tulisan ini adalah bagian kedua dari dua tulisan. Bagian pertama dari tulisan ini, dapat diakses di a hrif="http://indoprogress.blogspot.com/2006/08/marhaenis-bergerak-1.html">sini.
Budiman Sudjatmikoa hrif="#fn1155578321622n" id="fn1155578321622" class="footnote">1
Peluang: Masyarakat Sipil dan Nasionalisme Ekonomi
Untuk menjamin agar dalam interaksi global ini syarat minimum eksistensi kita terjaga maka apa yang perlu dilakukan kaum Marhaenis? Di sini kita hanya perlu menengok lagi relevansi gagasan nasionalisme dalam bidang ekonomi sebagaimana dulu digagas Bung Karno.
Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Ke ketiga ranah inilah, diskusi kita akan menjurus.
Kita mendapati bahwa ada kaitan yang kompleks dan problematik antara negara sebagai satu entitas politik dan bangsa sebagai satu konsep historis dan kultural. Maksud saya begini: jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan satu konsep politik yang ‘hanya’ dinyatakan dan didokumentasikan melalui teks proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, maka bangsa Indonesia adalah konsep yang sebelumnya dibentuk dari proses budaya, sejarah, ekonomi dan juga politik yang panjang. Ini berupa proses yang jauh lebih rumit dari sekedar perbincangan para pendiri republik (founding parents) pada tahun 1945.
Ringkasnya: Bangsa adalah status yang hanya bisa ada setelah (dialektika) sejarah (masyarakat) dan mesti ada sebelum negara politik berdiri. Dengan begitu, nasionalisme adalah ide yang telah menuntun agar bangsa melahirkan negara dan negara pada gilirannya hendak melindungi serta mensejahterakan segenap elemen bangsa. Pada kesempatan lain saya bakal tarik diskusi ini lebih mendalam.
Namun begitu, persoalan tidak bisa kita hentikan begitu saja di sini. Pada gilirannya, konsep kebersamaan manusia sebangsa dan kesatuan bangsa dengan negara dalam kawalan nasionalisme lantas juga menuntut berlakunya praktik-praktik demokratis dalam penyelenggaraan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi ini merupakan organisasi bagi kegiatan produksi dan konsumsi kebutuhan barang dan jasa sebagai alas material kehidupan bersama (shared life). Dengan begitu, orang-orang ini hendak diyakinkan bahwa hidup bersama dalam satu negara-bangsa akan menggenapi janji bahagia material dan spiritual. Pada urusan inilah yang Bung Karno sebut dengan Indonesia Merdeka sebagai jembatan emas menuju keadilan sosial dan kemakmuran!
Karenanya, makna berbangsa dan bernegara Indonesia akan mengambil bentuknya yang paling material sekaligus substansial ketika isi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menjamin keadilan serta kemajuan. Jika urusan-urusan seperti ini sudah bisa jelas, maka urusan-urusan sekitar loyalitas territorial (dalam bentuk integrasi NKRI) hanya merupakan turunan dari fakta bahwa negara memang diadakan untuk melindungi ‘hak-hak’ dari ‘suku-suku bangsa’ yang ada dalam wilayah tersebut.
Di lain sisi, gagasan tentang loyalitas pada bangsa harus dirancang-bangun untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan negara bangsa Indonesia. Ia terutama harus berurusan dengan berbagai rupa loyalitas yang berkembang dalam masyarakat sekarang. Misalnya loyalitas pada agama, pada sekte agama, pada klan, kedaerahan, kelompok kepentingan berbasis posisi dalam proses produksi (kelas) dan serupa itu.
Satu langkah ke depan dari proses tersebut adalah tegaknya otoritas politik yang demokratis dan berdaulat dari, oleh dan atas bangsa Indonesia. Tentu saja, dengan mempertimbangkan kemajemukan di atas, otoritas inilah yang nantinya dikukuhkan dalam proses ekspansi produksi, perdagangan dan konsumsi. Dalam proses tersebut, aturan main maupun jurisdiksi ekonominya pada akhirnya menjangkau pada tumbuhnya integritas teritorial.
Namun apa lacur! Di era globalisasi kapital sekarang, rupanya dengan logika komersial yang sama, secara ironis kapitalisme neoliberal malah cenderung untuk melemahkan konsolidasi kebangsaan. Bisa jadi balkanisasi akan berlanjut dengan pemecahbelahan bangsa secara fisik dan cita-cita, yang pada masa kolonialisme lama malah telah dibantu konsolidasinya. Lihatlah! Sama-sama anak kandung dari kapitalisme, selisih antara kolonialisme klasik dengan neoliberalisme serupa langit dan bumi. Yang lama atau klasik membantu mengumpulkan identitas yang berserak menjadi satu bangsa, sementara yang baru atau neo (yang ‘nekolim !’, begitu kata Bung Karno) malah melucutinya !
Hanya melalui pemahaman atas ekspansi yang terus menerus dari kapitalisme melalui negara bangsa inilah, maka kita akan digiring pada versi khusus nasionalisme. Versi ini memiliki watak ekonomi yang dominan, berupa ‘nasionalisme ekonomi.’ Akan tetapi, nasionalisme ekonomi ini mesti menancap berakar pada konteks historis dan kultural yang khas. Puncak kekuatan nasionalisme ekonomi ini malah bukan terletak pada pertentangannya dengan norma-norma sosial dan kultural namun pada kemampuan untuk memadukannya guna memperkuat masyarakat Indonesia modern.
Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait; 1) karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan; 2) negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal.
Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.
Strategi Makro: Koalisi Kepentingan Nasional
Saya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan. Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan.
Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing. Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahan-nya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya.
Dalam menghadapi proses tersebut, soal kelembagaan politik, agama, budaya serta dunia pendidikan memberikan respon masing-masing. Respon yang diberikan bisa progresif dan bisa juga konservatif dalam menghadapi revolusi perubahan posisi dan orientasi watak negara.
Memang tawaran alternatif atas proses reorientasi negara yang kian masuk dalam dunia yang mengglobal bisa berupa-rupa. Ada yang menawarkan pendekatan theokratis, pendekatan sosialistis, populisme nasionalis atau berusaha meredam globalisme neoliberal dengan tetap mempertahankan pendekatan ‘kapitalisme yang berwajah kemanusiaan.’
Semuanya memunculkan harapan dan visinya masing-masing. Manajemen atas harapan rakyat inilah, yang kemudian merupakan perkara pokok yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan (eksekutif) atau para calon pengambil kebijakan yang saling bersaing satu sama lain (para politisi).
Dengan begitu, pikiran-pikiran yang mesti digelar saat ini adalah mencari titik perjumpaan untuk memberi dua jenis rekomendasi ini: Rekomendasi kebijakan, sesuatu yang feasible secara teknis sekaligus politis untuk dieksekusi oleh para pengambil kebijakan; dan yang ke dua adalah rekomendasi perjuangan, yakni rekomendasi yang feasible jika pola kekuasaan politiknya diubah terlebih dulu atau telah memenuhi syarat.
Strategi Mikro: Gerakan Marhaenis pastilah Gerakan Politik!
Sungguh-sungguh saya meyakini bahwa tak satupun yang hadir di sini yang tak berkenan dengan sub-judul ini. Karenanya, mari kita tak terlalu berlarut-larut memperdebatkan urusan tersebut. Jangan sampai mengulang satu hal yang sudah jelas duduk perkaranya. Persoalan ini akan menuntut konsekuensi praktis, bahwa –mau tak mau—Gerakan Marhaenis tidak boleh mengharamkan perjuangan melalui partai (partai-partai) politik.
Namun begitu, saya perlu kembali ke fakta-fakta ini: realitas masyarakat kita berserakan (disorganized) dalam proses produksi maupun politik dan massa Marhaen telah menjadi partikel-partikel atom (atomized particles) yang mengambang hilir mudik mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain.
Karenanya, agar Gerakan Marhaenis bisa bersatu, berbenah dan mengakar, ia hanya bisa dimulai dari ruang-ruang kecil yang tersekat sejak tingkat akar rumput ini. Secara simultan dan dialektis kita juga membangun atau memperkuat kelembagaan politik yang sudah ada melalui partai dan atau koalisi nasional berporos kaum Marhaen, agar kedaulatan rakyat dan seluruh bangsa bisa tegak kembali.
Namun sebagai sebuah gerakan politik yang ideologis, perlu kiranya catatan-catatan ini dibaca:
Jika ideologi merupakan satu cara pandang kita dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat dan dunia yang diteorikan, maka kaum Marhaenis perlu melakukan rasionalisasi politik dalam bentuk satu platform perjuangannya sendiri. Rasionalitas ini mengabdi pada upaya menjawab persoalan-persoalan praktis. Rasionalisasi justru merupakan sebuah sentuhan politik programatis yang tak lain merupakan turunan dari Marhaenisme ajaran Bung Karno.
Rumusan programatik dari gerakan politik kaum Marhenis, karenanya, merupakan terjemahan dari moralitas yang mengacu pada nilai-nilai (values) yang ada pada ajaran Marhaenisme. Acuan nilai inilah yang kemudian diubah menjadi satu kebajikan (virtue) dan kelaikan (feasibility) sebuah program perjuangan politik yang kontekstual dan dinamis. Dengan begitu, ia bisa dibaca oleh seluruh anatomi kehidupan politik dan masyarakat sipil untuk menjawab tantangan-tantangan kekinian. Sehingga pemihakan yang muncul tak lagi disekat oleh sentimen puak-puaknya sendiri-sendiri, budaya maupun gaya hidup masing-masing, melainkan lebih berorientasi pada pemecahan perkara-perkara alokasi sumber daya bagi kesejahteraan.
Kecakapan kader-kader Marhaenis untuk mem-visikan (envisioning), menganalisa, menghitung, mengalokasi, memobilisasi sumber daya, merancang bangun baik institusi maupun instrumentasi, memonitor dan melakukan evaluasi, juga mesti ditumbuh-kembangkan. Sehingga gerakan bakalan cakap melahirkan kapasitas teknokratis di kalangan kader-kadernya yang ideologis dan berakar ke rakyat, seiring credo GMNI: Pejuang, Pemikir dan Pemikir, Pejuang. Ini tak lain adalah sebenar-benarnya mengembangbiak-kan intelektual organik bagi gerakan rakyat Marhaen, yang cerdas, militan dan rendah hati!
Kita layak mencemaskan, jika klaim-klaim ideologis (apapun itu) dirasa sudah cukup memberi kita rasa puas. Karena klaim-klaim ini semata hanya bakalan lebih mengijinkan kita untuk menggerombol, sembari cuma bisa menyaksikan kereta jagatnata (juggernaute) globalisasi neoliberal berarak-arakan melintasi ruang-ruang berpikir kita yang sudah lama tak bertuan. Tanpa institusionalisasi secara politik dan merancang instrumentasi yang laik (feasible), Gerakan Marhaenis bakalan terpeleset menjadi satu perziarahan nostalgik yang hanya berakhir secara tunggang-langgang dan kapiran (self-defeating).
- Pemakalah adalah Sekjen Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM); Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP PDI Perjuangan, dan Direktur Eksekutif ResPublica Institute (for technology policy, strategic and political-economic studies) [a hrif="#fn1155578321622">back]
Title : Marhaenis Bergerak (2) ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2006/08/marhaenis-bergerak-2_17.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Marhaenis Bergerak (2) ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment