Kemerosotan Demokrasi Liberal - Prosedural : Indonesia pasca otoriterisme - Arie Sujito
Benarkah sejak tumbangnya Orde Baru (Orba), kita betul-betul memasuki demokrasi liberal sebagaimana ditandai sistem multipartai?
Pertanyaan ini bisa mengawali diskusi, sekaligus perdebatan kita, saat publik, khususnya para aktivis, resah atas ketidakberesan perubahan sejak reformasi berlangsung. Banyak harapan besar menghiasi narasi perjuangan harus musnah, karena demokrasi dalam pengertian substantif tidak pernah terwujud. Apalagi, kita memiliki cita-cita besar mewujudkan negara demokratis dan rakyat sejahtera. Apa yang salah atas semua ini? Benarkah kita tengah dan telah mempraktekkan demokrasi liberal? Adakah alternatif lain? Bagaimana dengan sosial demokrasi?
Dibukanya kran kebebasan sebagai hasil dari penghancuran struktur politik otoriter Orba, telah menjadi jalan raya menuju terbangunnya tata pemerintahan bersih, negara yang demokratik dan masyarakat sipil yang sejahtera. Harus diakui, gelombang pasang reformasi telah dinikmati manfaatnya oleh parpol yang berpesta dalam pemilu 1999 hingga kontestasi pemilu 2004. Demikian juga dengan media massa, yang mendapatkan berkah berupa kebebasan mencari dan menyebarkan informasi yang demikian dahsyat (bahkan menjadi agen strategis “penentu arah” perubahan). Fakta itu berlangsung kurang lebih fase 5 tahun mengawali reformasi, yang saya anggap sebagai cobaan awal sekaligus tantangan dan uji kelayakan mutu perubahan ekonomi politik Indonesia.
Banyak sisi positif yang dicapai, karena pertimbangan ini tak lepas dari kelesuan selama dikerangkeng oleh politik fasistik Soeharto. Di antaranya, partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur, berbagai upaya pemulihan dan pembangunan ekonomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi daerah (regulasi 22/99) diterapkan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi dilakukan gencar (pembentukan KPK dan pengadilan tipikor), reformasi konstitusi (MK dan KY), kampanye perjuangan HAM kian marak, reformasi sektor pertahanan dan keamanan (tap MPR VI dan VII/2000) juga menjadi perhatian banyak kalangan. Layaknya sebuah perubahan sebagaimana mandat reformasi itu, tentu semua tidak bisa diukur dari sekadar kenikmatan sesaat, atau perubahan secara instan.
Pertanyaannya, adakah perubahan substansial atau mendasar yang kita tuai dalam fase awal reformasi, sebagaimana dibangun dalam berbagai basis teori dan komparasi atas negara-negara lain yang pernah mempraktekkan demokrasi?
Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan liberal, ternyata tidak berlangsung lama, bahkan mengalami berbagai hambatan serius. Capaian pada fase kedua tahapan reformasi justru mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Kita belum memanen demokrasi sesungguhnya untuk negara berkembang seperti Indonesia, sebagaimana kita cita-citakan yakni, “rakyat sejahtera, politik yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer dan penegakan hukum yang kokoh.”
Dari temuan riset, advokasi, dan menyaksikan hasil “audit demokrasi” sejauh ini, ternyata demokrasi yang kita jalankan masih berkutat pada prosedural dan formalis belaka. Itupun sangat compang-camping, tidak utuh. Sebagaimana disinyalir banyak aktivis (termasuk temuan penelitian Demos, 2003), beberapa masalah serius itu muncul di antaranya:
(1) defisit demokrasi. Kebebasan sipil dan politik “termasuk di dalamnya kebebasan membentuk partai; kebebasan untuk berpartisipasi dalam asosiasi-asosiasi sosial dan politik independen; kebebasan beragama dan berkeyakinan; juga kebebasan media” sudah dianggap baik. Beberapa di antara perangkat hak dan institusi demokrasi bahkan dinilai mengalami perkembangan membaik dan situasinya dianggap lebih baik jika dibandingkan lima tahun lalu.
(2) representasi yang bermasalah. Demokrasi tidak bisa dimajukan karena lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. Benar bahwa kebebasan untuk membentuk sayap partai tampaknya riel dan keberlakuannya tersebar dalam lingkup yang luas; bahwa pemilihan umum relatif bebas dan adil. Namun semua instrumen lain untuk memajukan representasi demokratis sangatlah buruk, termasuk di dalamnya partai-partai.
(3) demokrasi oligarkis. Demokrasi di Indonesia dewasa ini dikuasai oleh para elite-oligarkhi, yang memiliki pengaruh kuat yang dominan terutama dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Seluruh proses politik nyaris dimonopoli oleh jenis elite yang seperti itu. Mereka menguasai perangkat demokrasi di tingkat negara. Demokrasi hanya bergerak di aras permukaan, betapapun pengalaman penyelenggaraan prosedur demokrasi telah ditempuh secara berulang-ulang. Jejak-jejak demokrasi lima tahun, seringkali lenyap dengan cepat oleh karena manipulasi elit kekuasaan. Pandangan yang meluas bahwa kaum elite oligarkis telah menyesuaikan diri dengan demokrasi, memonolopinya, dan memanipulasinya untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk di tingkat lokal. Dalam latar politik lokal, jika keadaan tidak berubah, maka proyek desentraliasi dan otonomi daerah bisa jadi malah hanya akan memfasilitas ekspansi elite oligarkh itu ke tingkat lokal. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah desentralisasi oligarki.
(4) demokrat mengambang. Rezim demokrasi oligarkis di Indonesia dibangun di atas korupsi dan kolusi dan jaringan intra-elite! Mereka menguasai negara, memonopoli instrumen-instrumen demokrasi, menyesuaikan diri dengan mekanisme prosedural demokrasi liberal, dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang kemudian disisakan bagi para aktivis pro-demokrasi yang bekerja di lapangan masyarakat sipil? Mereka mengalami marginalisasi, kecuali di wilayah tradisionalnya selama ini yakni, di instrumen-instrumen masyarakat sipil, serta di wilayah kebebasan sipil dan politik!
Apa yang musti kita pikirkan dan kerjakan?
Berbagai pilihan demokrasi sesungguhnya tersedia. Kita saja yang belum terbiasa untuk konsisten dan serius memperjuangkannya. Dihadapkam pada masalah kemerosotan demokrasi liberal-prosedural seperti dipraktekkan di Indonesia sejauh ini, sudah saatnya kita memulai belajar untuk konsisten dalam merancang dan menjalankan skema perubahan, apapun resikonya. Kita tidak mungkin hanya puas menyaksikan Indonesia sekadar menjadi laboratorium demokrasi, sementara rakyat masih saja menderita. Mari, kita senantiasa mengevaluasi, merefleksi, dan menentukan pilihan secara tepat agar sanggup mengatasi kebimbangan, sebagaimana pertanyaan dalam awal tulisan ini.
Pertama, tantangan ke depan bagi praktik demokrasi Indonesia adalah kebutuhan perpaduan antara skema perubahan struktural pada aras politik dan ekonomi dengan mendasarkan pada struktur kelas. Tidak akan mungkin demokrasi masuk dan terinstitusionalisasi, jika struktur sosial ekonomi kita masih cukup timpang. Terobosan-terobosan awal reformasi, sudah seharusnya diarahkan atau diubah dengan berorientasi pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Mengingat masalah ketimpangan masyarakat begitu akut dan makin terasa hari demi-hari, maka langkah strategis dengan pikiran-pikiran serta tindakan revolusioner dibutuhkan. Sederhananya, demokrasi ekonomi-politik harus mengupayakan pembebasan atas penindasan pada struktur kelas bawah. Keberhasilan untuk menghancurkan rezim otoriterisme politik, hingga kini masih dihantui oleh keangkuhan neoliberalisme yang makin anarkhis.
Betapapun negara ini problematik, jangan sampai kita justru menegasikan peran negara, terutama dalam konfigurasi ekonomi politik global yang makin dihegemoni pasar internasional yang imperalialistik. Hanya dengan cara perubahan struktur negara yang demokratik dalam basis masyarakat sipil yang kuat, upaya membendung neoliberalisme dimungkinkan. Gagasan ini jelas seiring dengan ide dasar sosialisme demokrasi, dimana yang dibutuhkan saat ini adalah negara demokratis berbasis legitimasi masyarakat sipil. Indonesia, pada konteks ini, memiliki political capital yang besar menuju tata politik dengan haluan sosial demokrasi.
Kedua, mempertimbangkan kebutuhan penguatan masyarakat sipil sebagai sarana agar demokrasi bisa bekerja, maka kulturalisasi demokrasi dalam ranah sipil menjadi sangat penting. Kita perlu terus menerus mendorong ide atau gagasan demokrasi yang inklusif (berdekatan cara pandang demokrasi deliberatif). Harus diakui, agenda membangun masyarakat sipil dalam struktur yang majemuk hingga saat ini masih terseok-seok, karena masih besarnya fundamentalisme dan sikap eksklusifisme yang senantiasa menghambat demokrasi. Kita selalu diingatkan pada nation caracter building, saat Soekarno meyakinkan pentingnya membangun Indonesia dengan dasar nasionalisme berbasis kemajemukan. Dengan kalimat lain, kemajemukan, dengan demikian harus menjadi bagian yang harus ditransformasikan sebagai modal besar bagi bangsa ini dalam rangka membangun demokrasi sosial.
Ketiga, ketika demokrasi liberal-prosedural yang selalu dianggap pilihan strategis perubahan Indonesia, ternyata mengalami kegagalan serius karena mengalami formalisasi, maka pilihan sosial demokrasi menjadi penting untuk dipikirkan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Perbedaan cara pandang soal pilihan demokrasi ini, hendaknya diupayakan ruang dialog rasional dan strategis, agar para aktivis demokrasi menyadari kebutuhan tersebut. Harus diakui, hingga kini kita masih dihantui masalah keterpilahan antar kelompok dengan segala pilihan ideologi, strategis perjuangan serta bermacam orientasi. Soal fragmentasi yang menjadi keresahan selama ini perlu menjadi perhatian serius agar segera diatasi. Tidak dibiarkan berlaut-larut.
Sejarah perlawanan sipil sangat bergantung pada kekuatan konsolidasi yang dijalankannya. Jika itu terjadi, paradigma masuk dalam sirkuit kekuasaan (sebagaimana diyakini para aktivis sejak reformasi politik yang ditempuhnya) akan bermanfaat dan produktif dalam membangun sosial demokrasi saat ini, dan tentu saja dimasa-masa depan. Pilihan memasuki kekuasaan, seringkali direcoki justru oleh sesama kaum sipil, karena soal pragmatisme dan belum terbangun kesepahaman.
Sudah saatnya, kita berkampanye membendung ide-ide Fukuyama yang berupaya menghentikan ideologisasi (khususnya di negara berkembang), yang berkhotbah bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal adalah jalan-jalan satu-satunya bagi negara-negara di dunia untuk memperoleh kemajuan. Pilihan-pilihan perlawanan, sebagaimana pandangan kaum sosialis dengan merujuk gagasan Michel Newman (2006) tawaran baru sosialisme abad 21, juga Petras (2004) yang mengingatkan ancaman imperialisme abad 21, perlu mendapatkan perhatian para aktivis pro demokrasi Indonesia.
Keempat, sudah saatnya parpol segera mereformasi diri sebagaimana diingatkan banyak pihak selama ini. Parpol tidak lagi harus terkungkung pada watak feodalistik, otoriter, dan elitis. Sebaliknya, parpol hendaknya memiliki spirit populis berlandaskan pada ideologi kerakyatan, yang diturunkan dalam program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Penyakit parpol yang senantiasa mengabaikan “ideologisasi” harus segera diatasi. Maka, parpol dituntut memiliki kader-kader yang memiliki basis pemikiran, komitmen dan kesadaran karakyatan yang kuat.
Hancurnya jembatan penghubung antara organisasi-organisasi sipil kerakyatan dengan parpol, tentu menjadi masalah serius mengapa rekruitmen para kader parpol sejauh ini sangat buruk. Itulah warisan masa lalu. Parpol kehilangan kader-kader cerdas dan militan, karena pasokan ini dihambat penguasa melalui cara depolitisasi dan deideologisasi. Karena itulah, perjuangan garis parlementaris oleh parpol, harus ditopang oleh kekuatan sipil yang kuat, sehingga perjuangan demokratik parlemen senafas dengan kehendak rakyat. Perjuangan sosial demokrasi, mengharuskan kerjasama erat kekuatan organisasi rakyat (berbagai sektor) dengan ideologi parpol.
Dilandasi atas problem dan beberapa skema itulah, maka membangkitkan kembali semangat masyarakat sipil menuju demokrasi (dengan pilihan sosial demokrasi) sangat dipengaruhi oleh kesungguhan gerak politik para aktivis demokrasi yang sudah menyebar dimana-mana. Tugas kita memang belum usai, dan akan makin menantang disemua lini. Kita harus menjadi pelari maraton (bukan pelari sprinter) yang bernafas panjang dan konsisten menjalani agenda dengan road mapp yang jelas, hingga cita-cita perubahan negara demokratik dan rakyat yang sejahtera terwujud.***
Arie Sujito, Pengajar di UGM dan Sekjen Pergerakan Indonesia.
Artikel ini sebelumnya dimuat di http://www.berpolitik.com/news.pl?t=1&n_id=3772&c_id=61&g_id=95, Kamis, April 12, 2007 18:22
Benarkah sejak tumbangnya Orde Baru (Orba), kita betul-betul memasuki demokrasi liberal sebagaimana ditandai sistem multipartai?
Pertanyaan ini bisa mengawali diskusi, sekaligus perdebatan kita, saat publik, khususnya para aktivis, resah atas ketidakberesan perubahan sejak reformasi berlangsung. Banyak harapan besar menghiasi narasi perjuangan harus musnah, karena demokrasi dalam pengertian substantif tidak pernah terwujud. Apalagi, kita memiliki cita-cita besar mewujudkan negara demokratis dan rakyat sejahtera. Apa yang salah atas semua ini? Benarkah kita tengah dan telah mempraktekkan demokrasi liberal? Adakah alternatif lain? Bagaimana dengan sosial demokrasi?
Dibukanya kran kebebasan sebagai hasil dari penghancuran struktur politik otoriter Orba, telah menjadi jalan raya menuju terbangunnya tata pemerintahan bersih, negara yang demokratik dan masyarakat sipil yang sejahtera. Harus diakui, gelombang pasang reformasi telah dinikmati manfaatnya oleh parpol yang berpesta dalam pemilu 1999 hingga kontestasi pemilu 2004. Demikian juga dengan media massa, yang mendapatkan berkah berupa kebebasan mencari dan menyebarkan informasi yang demikian dahsyat (bahkan menjadi agen strategis “penentu arah” perubahan). Fakta itu berlangsung kurang lebih fase 5 tahun mengawali reformasi, yang saya anggap sebagai cobaan awal sekaligus tantangan dan uji kelayakan mutu perubahan ekonomi politik Indonesia.
Banyak sisi positif yang dicapai, karena pertimbangan ini tak lepas dari kelesuan selama dikerangkeng oleh politik fasistik Soeharto. Di antaranya, partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur, berbagai upaya pemulihan dan pembangunan ekonomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi daerah (regulasi 22/99) diterapkan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi dilakukan gencar (pembentukan KPK dan pengadilan tipikor), reformasi konstitusi (MK dan KY), kampanye perjuangan HAM kian marak, reformasi sektor pertahanan dan keamanan (tap MPR VI dan VII/2000) juga menjadi perhatian banyak kalangan. Layaknya sebuah perubahan sebagaimana mandat reformasi itu, tentu semua tidak bisa diukur dari sekadar kenikmatan sesaat, atau perubahan secara instan.
Pertanyaannya, adakah perubahan substansial atau mendasar yang kita tuai dalam fase awal reformasi, sebagaimana dibangun dalam berbagai basis teori dan komparasi atas negara-negara lain yang pernah mempraktekkan demokrasi?
Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan liberal, ternyata tidak berlangsung lama, bahkan mengalami berbagai hambatan serius. Capaian pada fase kedua tahapan reformasi justru mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Kita belum memanen demokrasi sesungguhnya untuk negara berkembang seperti Indonesia, sebagaimana kita cita-citakan yakni, “rakyat sejahtera, politik yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer dan penegakan hukum yang kokoh.”
Dari temuan riset, advokasi, dan menyaksikan hasil “audit demokrasi” sejauh ini, ternyata demokrasi yang kita jalankan masih berkutat pada prosedural dan formalis belaka. Itupun sangat compang-camping, tidak utuh. Sebagaimana disinyalir banyak aktivis (termasuk temuan penelitian Demos, 2003), beberapa masalah serius itu muncul di antaranya:
(1) defisit demokrasi. Kebebasan sipil dan politik “termasuk di dalamnya kebebasan membentuk partai; kebebasan untuk berpartisipasi dalam asosiasi-asosiasi sosial dan politik independen; kebebasan beragama dan berkeyakinan; juga kebebasan media” sudah dianggap baik. Beberapa di antara perangkat hak dan institusi demokrasi bahkan dinilai mengalami perkembangan membaik dan situasinya dianggap lebih baik jika dibandingkan lima tahun lalu.
(2) representasi yang bermasalah. Demokrasi tidak bisa dimajukan karena lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. Benar bahwa kebebasan untuk membentuk sayap partai tampaknya riel dan keberlakuannya tersebar dalam lingkup yang luas; bahwa pemilihan umum relatif bebas dan adil. Namun semua instrumen lain untuk memajukan representasi demokratis sangatlah buruk, termasuk di dalamnya partai-partai.
(3) demokrasi oligarkis. Demokrasi di Indonesia dewasa ini dikuasai oleh para elite-oligarkhi, yang memiliki pengaruh kuat yang dominan terutama dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Seluruh proses politik nyaris dimonopoli oleh jenis elite yang seperti itu. Mereka menguasai perangkat demokrasi di tingkat negara. Demokrasi hanya bergerak di aras permukaan, betapapun pengalaman penyelenggaraan prosedur demokrasi telah ditempuh secara berulang-ulang. Jejak-jejak demokrasi lima tahun, seringkali lenyap dengan cepat oleh karena manipulasi elit kekuasaan. Pandangan yang meluas bahwa kaum elite oligarkis telah menyesuaikan diri dengan demokrasi, memonolopinya, dan memanipulasinya untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk di tingkat lokal. Dalam latar politik lokal, jika keadaan tidak berubah, maka proyek desentraliasi dan otonomi daerah bisa jadi malah hanya akan memfasilitas ekspansi elite oligarkh itu ke tingkat lokal. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah desentralisasi oligarki.
(4) demokrat mengambang. Rezim demokrasi oligarkis di Indonesia dibangun di atas korupsi dan kolusi dan jaringan intra-elite! Mereka menguasai negara, memonopoli instrumen-instrumen demokrasi, menyesuaikan diri dengan mekanisme prosedural demokrasi liberal, dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang kemudian disisakan bagi para aktivis pro-demokrasi yang bekerja di lapangan masyarakat sipil? Mereka mengalami marginalisasi, kecuali di wilayah tradisionalnya selama ini yakni, di instrumen-instrumen masyarakat sipil, serta di wilayah kebebasan sipil dan politik!
Apa yang musti kita pikirkan dan kerjakan?
Berbagai pilihan demokrasi sesungguhnya tersedia. Kita saja yang belum terbiasa untuk konsisten dan serius memperjuangkannya. Dihadapkam pada masalah kemerosotan demokrasi liberal-prosedural seperti dipraktekkan di Indonesia sejauh ini, sudah saatnya kita memulai belajar untuk konsisten dalam merancang dan menjalankan skema perubahan, apapun resikonya. Kita tidak mungkin hanya puas menyaksikan Indonesia sekadar menjadi laboratorium demokrasi, sementara rakyat masih saja menderita. Mari, kita senantiasa mengevaluasi, merefleksi, dan menentukan pilihan secara tepat agar sanggup mengatasi kebimbangan, sebagaimana pertanyaan dalam awal tulisan ini.
Pertama, tantangan ke depan bagi praktik demokrasi Indonesia adalah kebutuhan perpaduan antara skema perubahan struktural pada aras politik dan ekonomi dengan mendasarkan pada struktur kelas. Tidak akan mungkin demokrasi masuk dan terinstitusionalisasi, jika struktur sosial ekonomi kita masih cukup timpang. Terobosan-terobosan awal reformasi, sudah seharusnya diarahkan atau diubah dengan berorientasi pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Mengingat masalah ketimpangan masyarakat begitu akut dan makin terasa hari demi-hari, maka langkah strategis dengan pikiran-pikiran serta tindakan revolusioner dibutuhkan. Sederhananya, demokrasi ekonomi-politik harus mengupayakan pembebasan atas penindasan pada struktur kelas bawah. Keberhasilan untuk menghancurkan rezim otoriterisme politik, hingga kini masih dihantui oleh keangkuhan neoliberalisme yang makin anarkhis.
Betapapun negara ini problematik, jangan sampai kita justru menegasikan peran negara, terutama dalam konfigurasi ekonomi politik global yang makin dihegemoni pasar internasional yang imperalialistik. Hanya dengan cara perubahan struktur negara yang demokratik dalam basis masyarakat sipil yang kuat, upaya membendung neoliberalisme dimungkinkan. Gagasan ini jelas seiring dengan ide dasar sosialisme demokrasi, dimana yang dibutuhkan saat ini adalah negara demokratis berbasis legitimasi masyarakat sipil. Indonesia, pada konteks ini, memiliki political capital yang besar menuju tata politik dengan haluan sosial demokrasi.
Kedua, mempertimbangkan kebutuhan penguatan masyarakat sipil sebagai sarana agar demokrasi bisa bekerja, maka kulturalisasi demokrasi dalam ranah sipil menjadi sangat penting. Kita perlu terus menerus mendorong ide atau gagasan demokrasi yang inklusif (berdekatan cara pandang demokrasi deliberatif). Harus diakui, agenda membangun masyarakat sipil dalam struktur yang majemuk hingga saat ini masih terseok-seok, karena masih besarnya fundamentalisme dan sikap eksklusifisme yang senantiasa menghambat demokrasi. Kita selalu diingatkan pada nation caracter building, saat Soekarno meyakinkan pentingnya membangun Indonesia dengan dasar nasionalisme berbasis kemajemukan. Dengan kalimat lain, kemajemukan, dengan demikian harus menjadi bagian yang harus ditransformasikan sebagai modal besar bagi bangsa ini dalam rangka membangun demokrasi sosial.
Ketiga, ketika demokrasi liberal-prosedural yang selalu dianggap pilihan strategis perubahan Indonesia, ternyata mengalami kegagalan serius karena mengalami formalisasi, maka pilihan sosial demokrasi menjadi penting untuk dipikirkan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Perbedaan cara pandang soal pilihan demokrasi ini, hendaknya diupayakan ruang dialog rasional dan strategis, agar para aktivis demokrasi menyadari kebutuhan tersebut. Harus diakui, hingga kini kita masih dihantui masalah keterpilahan antar kelompok dengan segala pilihan ideologi, strategis perjuangan serta bermacam orientasi. Soal fragmentasi yang menjadi keresahan selama ini perlu menjadi perhatian serius agar segera diatasi. Tidak dibiarkan berlaut-larut.
Sejarah perlawanan sipil sangat bergantung pada kekuatan konsolidasi yang dijalankannya. Jika itu terjadi, paradigma masuk dalam sirkuit kekuasaan (sebagaimana diyakini para aktivis sejak reformasi politik yang ditempuhnya) akan bermanfaat dan produktif dalam membangun sosial demokrasi saat ini, dan tentu saja dimasa-masa depan. Pilihan memasuki kekuasaan, seringkali direcoki justru oleh sesama kaum sipil, karena soal pragmatisme dan belum terbangun kesepahaman.
Sudah saatnya, kita berkampanye membendung ide-ide Fukuyama yang berupaya menghentikan ideologisasi (khususnya di negara berkembang), yang berkhotbah bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal adalah jalan-jalan satu-satunya bagi negara-negara di dunia untuk memperoleh kemajuan. Pilihan-pilihan perlawanan, sebagaimana pandangan kaum sosialis dengan merujuk gagasan Michel Newman (2006) tawaran baru sosialisme abad 21, juga Petras (2004) yang mengingatkan ancaman imperialisme abad 21, perlu mendapatkan perhatian para aktivis pro demokrasi Indonesia.
Keempat, sudah saatnya parpol segera mereformasi diri sebagaimana diingatkan banyak pihak selama ini. Parpol tidak lagi harus terkungkung pada watak feodalistik, otoriter, dan elitis. Sebaliknya, parpol hendaknya memiliki spirit populis berlandaskan pada ideologi kerakyatan, yang diturunkan dalam program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Penyakit parpol yang senantiasa mengabaikan “ideologisasi” harus segera diatasi. Maka, parpol dituntut memiliki kader-kader yang memiliki basis pemikiran, komitmen dan kesadaran karakyatan yang kuat.
Hancurnya jembatan penghubung antara organisasi-organisasi sipil kerakyatan dengan parpol, tentu menjadi masalah serius mengapa rekruitmen para kader parpol sejauh ini sangat buruk. Itulah warisan masa lalu. Parpol kehilangan kader-kader cerdas dan militan, karena pasokan ini dihambat penguasa melalui cara depolitisasi dan deideologisasi. Karena itulah, perjuangan garis parlementaris oleh parpol, harus ditopang oleh kekuatan sipil yang kuat, sehingga perjuangan demokratik parlemen senafas dengan kehendak rakyat. Perjuangan sosial demokrasi, mengharuskan kerjasama erat kekuatan organisasi rakyat (berbagai sektor) dengan ideologi parpol.
Dilandasi atas problem dan beberapa skema itulah, maka membangkitkan kembali semangat masyarakat sipil menuju demokrasi (dengan pilihan sosial demokrasi) sangat dipengaruhi oleh kesungguhan gerak politik para aktivis demokrasi yang sudah menyebar dimana-mana. Tugas kita memang belum usai, dan akan makin menantang disemua lini. Kita harus menjadi pelari maraton (bukan pelari sprinter) yang bernafas panjang dan konsisten menjalani agenda dengan road mapp yang jelas, hingga cita-cita perubahan negara demokratik dan rakyat yang sejahtera terwujud.***
Arie Sujito, Pengajar di UGM dan Sekjen Pergerakan Indonesia.
Artikel ini sebelumnya dimuat di http://www.berpolitik.com/news.pl?t=1&n_id=3772&c_id=61&g_id=95, Kamis, April 12, 2007 18:22
Title : Kemerosotan Demokrasi Liberal - Prosedural : Indonesia pasca otoriterisme ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/07/kemerosotan-demokrasi-liberal_8.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Kemerosotan Demokrasi Liberal - Prosedural : Indonesia pasca otoriterisme ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment