NASIONALISME INDONESIA: “Proyek Bersama” yang Belum Selesai - Nezar Patria
NASIONALISME, bagi generasi Indonesia hare gene, mungkin bukan termasuk barang asyik ditimbang, dibedah, atau dipikirkan kembali. Banyak orang menyimpulkan, kita berada pada senjakala nasionalisme. Fajar baru dunia adalah globalisasi, yang telah menggerus tapal batas teritorial, dan mengaburkan persepsi atas borders, sesuatu yang justru sangat esensial dalam doktrin nasionalisme. Karena itu, berbicara soal nasionalisme akan kedengaran katrok, dan mereka yang berapi-api membelanya terancam dicap pendekar kesiangan.
Nasionalisme kita hari-hari ini memang terasa menjadi sesuatu yang banal, atau sesuatu yang mengalami pendangkalan makna. Lebih sedih lagi, dia hanya berarti sejenak saja, pada upacara bendera, atau saat bendera merah putih dikibarkan pada acara olahraga. Saya pikir, banalitas itu terjadi karena 'state' yang tak begitu berhasil memberi arah bagi 'nation,' atau gagal melakukan konstruksi nasionalisme sebagai "proyek bersama" (common project) bagi seluruh warga. Dalam konteks Indonesia, mengutip sejarawan sosial Charles Tilly, nasionalisme kita adalah ’state-led nationalism.’1 Semacam nasionalisme yang dibangun dari atas, dan lalu meluncur ke bawah.
Sebelum membahas lebih jauh, agaknya penting menjernihkan lebih dulu salah kaprah yang kerap muncul dalam membicarakan nasionalisme. Adalah benar wilayah perbincangan nasionalisme tak bisa dipisahkan dari soal 'nation-state.' Tetapi, hubungan keduanya tidaklah selalu identik. 'State' pada banyak kasus dalam sejarah, lebih dulu muncul daripada 'nation.' Dan sejarah membuktikan, perkawinan keduanya menjadi 'nation-state,' mengutip Ben Anderson, tidaklah selalu bahagia.2
Saya mengikuti terminologi neo-Weberian yang mengartikan 'State' sebagai ”satu komunitas manusia yang berhasil mengklaim legitimasi penggunaan kekerasan fisik dalam satu wilayah tertentu.”3. Asal usul ’negara’ Indonesia, misalnya, bisa ditarik pada abad ke-17, saat Belanda dengan VOC-nya di Batavia menaklukan Jawa dan beberapa daerah lain di nusantara. Penaklukan itu berpuncak lewat perang brutal di berbagai wilayah nusantara sepanjang abad 19. Selama tigaratus limapuluh tahun, dimensi wilayah dari "negara kolonial" itu berubah-ubah. Ketika merdeka, teritori bekas jajahan itu menjadi semacam patokan batas dari apa yang kita kenal sebagai "Indonesia."
Jadi, dasar teritorial 'state' kita saat ini adalah "warisan kolonial." Dia lahir dari proses pemutusan sejarah kolonialisme pada 1945, dengan upaya ”pemindahan kekuasaan (dari negara kolonial) dan sebagainya,” yang ”dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” Meski Sukarno dan Hatta melakukan klaim ”atas nama bangsa Indonesia,” tetapi 'nation' yang dimaksud masih berada dalam wilayah imajiner.4 Batasnya adalah ”sentiment of belonging to a community,” rasa memiliki kepada suatu komunitas yang sama-sama tertindas (oleh kolonial Belanda), dan berkeinginan memutuskan nasib politik mereka bersama.
Maka, jika 'nation' diartikan sebagai suatu proyek bersama untuk sekarang dan masa depan, Indonesia sesungguhnya adalah proyek yang belum final. Dia dalam proses ”menjadi”, dan pemenuhannya sebagai ’bangsa’ harus terus diisi oleh berbagai generasi. Orientasi ke masa depan inilah—dan bukan pada masa lalu, yang menjadi ’common platform’ pada gerakan kaum muda 1920an, seperti ditunjukkan oleh kebangkitan organisasi yang lintas batas lokalitas, seperti Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamienten Bond, Jong Minahasa dan lain-lain.
Satu cara pandang revolusioner tentang ’nation’ telah terjadi pada saat itu, ketika kaum muda 1920an tidak lagi melihat masa lalu, mengesampingkan kenyataan bahwa sebetulnya kerajaan-kerajaan di nusantara pernah saling berperang dan menaklukan. Perjuangan melawan sesuatu yang ’asing’ atau ’Barat’ yang dulu dilakukan para elite lokal, tidak pernah merujuk pada bayangan tentang ’Indonesia.’ Misalnya, sejarah mencatat Pangeran Diponegoro yang angkat senjata melawan Belanda, sebetulnya bukan didorong oleh kesadaran ’nasional,’ tetapi suatu perang yang awal mulanya dipicu pergulatan kekuasan di dalam kraton Yogyakarta, tentang ekonomi kaum aristokrat di Jawa yang tergerus oleh proyek "Jalan Raya Pos" Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendels, yang membentang dari Jawa bagian barat sampai ke timur. Tetapi, lebih seabad kemudian, kaum muda yang berkumpul pada Kongres Pemuda 1928, bergerak dengan kesadaran lebih maju dari Diponegoro, membangun satu komitmen politik Indonesia modern, suatu benih konsep tentang apa yang disebut ’bangsa’.
Itu sebabnya, pada awal kemerdekaan, obsesi terbesar Sukarno adalah apa yang disebutnya sebagai "nation character building." Dalam pikiran Bung Karno, karakter politik nasionalisme Indonesia adalah anti imperialisme, anti kolonialisme, sekaligus pro-perdamaian. Sukarno menolak nasionalisme ”gontok-gontokkan.” Tujuan nasionalisme ala Sukarno adalah membangkitkan rasa percaya diri sebagai bangsa besar, yang sanggup menyelesaikan masalah sendiri, dan rela berkorban untuk kepentingan bersama.
Semangat berkorban (will to sacrifice) adalah aspek penting dari nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, semangat berkorban ini sebetulnya sudah muncul dalam bentuk perlawanan daerah pada masa kolonial, tetapi belum mendapat apa yang disebut Anderson sebagai "horizontal comradeship."5 Dalam soal ini, saya berpendapat, "horizontal comradeship" atas nama "Indonesia" mengalami intensifikasi makna pada era 1945-1949, saat perang mempertahankan kemerdekaan telah memperluas dan memperkuat rasa kebersamaan.6 Pada saat itulah, bagaimana laskar rakyat bersatu, melintas batas, seperti yang ditunjukkan oleh perlawanan ”10 November” di Surabaya, Krawang-Bekasi, atau Medan Area di Sumatera Timur. Bagaimana Daud Beureueh, tokoh revolusioner di Aceh, mengirimkan pasukan ke Medan Area, untuk mempertahankan "proyek bersama" dari ’nation’ yang muda itu, melawan agresi Belanda. Atau, para laskar rakyat di Jawa Barat dan Jawa tengah yang terlibat di pertempuran "Krawang dan Bekasi."
Tentu, kita terhenyak ketika pada masa rezim orde baru justru kekuatan militer yang lahir dari revolusi kemerdekaan itu, seperti dicatat Anderson, malah mengalami distorsi fungsi yang sangat serius, dimana tentara republik ”tidak lagi berperang melawan kekuatan eksternal tetapi menindas rakyatnya sendiri, yang tak lain diambil dari tradisi militer kolonial.”7 Jika nasionalisme adalah ”sentiment of belonging,” suatu proses psikologis, dan 'State' adalah sesuatu yang instrumental sebagai “alat legitimasi penggunaan kekerasan,” atau lebih tajam lagi dalam pendekatan Marxian sebagai ”alat dari kelas yang berkuasa,” maka kekerasan yang terjadi pada ”Negara Orde Baru” tampaknya harus dipahami sebagai ekspresi dari kepentingan kelas tertentu.
Dan inilah yang terjadi pada masa sebelumnya, dimana 'state' ternyata tak cukup mengakomodasi spektrum politik yang muncul. Bung Karno mencoba mempersatukan semua aliran politik yang saling bergulat menentukan arah 'state' Indonesia yang baru terbentuk itu. Tetapi seperti dicatat sejarah, usaha ini hanya separuh berhasil. Dia sukses dalam pengertian merumuskan satu dasar nilai bangsa yang kita kenal sebagai Pancasila, yang bukan saja dijadikan sebagai ”proyek bersama,” tapi juga nilai itu difiksasikan sebagai ideologi nasional.
Pada dasarnya, revolusi Indonesia berwatak nasionalis. Sukarno mencoba mendamaikan nasionalis sekuler, yang diwakili kaum nasionalis dan komunis, serta nasionalis-religius diwakili kelompok agama. Tetapi, gesekan politik kaum nasionalis, agama dan komunis, yang oleh Sukarno dianggap pemilik saham sah dari revolusi Indonesia itu, gagal dipersatukan di bawah proyek "Nasakom." Obsesi persatuan ini sudah dirintisnya sebelum Indonesia merdeka, lewat tulisan ”Nasionalisme, Islam dan Marxisme” pada 1926. Tetapi, pada akhirnya konflik itu berujung dengan tragedi nasional, pembantaian anak bangsa sendiri pada 1965.
Sejak awal perjalanan Indonesia sebagai bangsa, membangun ’nation’ sebagai proyek bersama bukanlah mudah. Meski Sukarno sukses mempersatukan wilayah yang terpecah-pecah itu, tetapi, di era 1950an, dia tergoda meningkatkan peran ”state’ sebagai alat untuk menjaga apa yang disebut ”mitos pengalaman perang,8 yang dalam konteks ini, saya kira, merujuk pada perang revolusi melawan agresi kolonial 1945-1949. Bahwa ”revolusi belum selesai” dan harus terus berlanjut dalam upaya menahan laju agresi dari "proyek neo-kolonialisme dan imperialisme." Dengan bahasa lain, upaya perayaan atas "mitos pengalaman perang revolusi kemerdekaan" itu sebetulnya adalah usaha melegitimasi mobilisasi dukungan bagi program Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit 5 Juli 1959.
Sampai disini, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim,” yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.
Sekali lagi, "mitos pengalaman perang" pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui "perang melawan nekolim" itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi "proyek bersama" melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.
Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus," nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang "kiri," dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi "kanan."
Kegagalan "Nasakom," dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru,” dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok yaitu, secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik.
Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai "proyek bersama." Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.
Peran dominan ’state’ pada rezim orde baru itu berdampak amat buruk pada perkembangan ’nation’ selanjutnya. Dengan sentralisme rezim otoriter militeristik itu, maka perjumpaan Negara Orde Baru dengan pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang. Jika Sukarno menggelorakan sentimen nasionalisme dengan sesatu yang ”mengangkat” martabat bangsa, dan dengan progresif mengisi karakter nasionalisme Indonesia, maka strategi integrasi nasional gaya Suharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.
Bahkan jauh lebih buruk. Sengaja atau tidak, orde baru melakukan politik homogenisasi dengan Jawa sebagai pusat. Sekali lagi, upaya itu mengkhianati nasionalisme sebagai "proyek bersama." Ketidakpuasan atas elit politik non-Jawa di daerah-daerah mencapai puncaknya pada era kediktatoran ini. Misalnya, pada 1980 dari seluruh 12 Kodam yang ada pada waktu di luar Jawa, semua berada di tangan komandan militer dari Jawa. Dominasi etnik Jawa bahkan terlihat dari komposisi kepemimpinan tentara, 89 persen dari petinggi militer saat itu, jika bukan Jawa (80%) adalah Sunda (9%). Selain menggunakan Golkar sebagai alat politik orde baru, militer juga mendominasi parlemen yang memiliki 100 kursi di DPR (dari 460 kursi), yang dipilih tanpa pemilu tapi ditunjuk langsung oleh presiden.9
Dengan begitu, nasionalisme orde baru yang militeristik adalah sesuatu yang diabdikan untuk mengamankan teritorial, yang mengambil klaim kebenarannya lewat mistifikasi UUD 1945, dengan asumsi batas wilayah adalah "suci." Teritorialisme itu lalu meminggirkan semua urusan tentang "hak demokratis warga," dan mementingkan ’tanah’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan "manusia" atau "warga" di atasnya. Struktur teritorial itu membayangi struktur politik sipil sampai di tingkat pedesaan. Termasuk juga fungsi militer memeriksa orientasi politik dan mengendalikan organisasi sosial, seperti pers, lembaga agama dan badan pendidikan.10 Sekelompok orang yang menentang rezim dengan sendirinya dianggap ”tidak nasionalis,” atau lebih parah lagi ”komunis” atau ”separatis.” Kedua kata itu adalah juga berarti bukan bagian warga ’nation’ dalam versi rezim orde baru. Para keluarga eks-PKI, misalnya, telah dikeluarkan dari "proyek bersama," dan menempatkan mereka sebagai warga pariah tanpa hak politik.
Kegilaan tasfir nasionalisme seperti itu bahkan tidak terjadi pada orde sebelumnya. Misalkan Aceh, pergolakan Daud Beureueh dengan DI/TII di tahun 1953-1960 masih membuka kesempatan memperbincangkan kembali "proyek bersama" itu. Tetapi, ruang itu tertutup pada masa orde baru, ketika Hasan di Tiro menggugat dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 1976, maka daerah itu pun menjadi ajang operasi militer yang masif dan represif, yang menggasak warga sipil tak berdosa dengan membabi-buta. Sama halnya dengan Timor Timur yang dalam rekaman lembaga hak asasi manusia internasional, telah kehilangan 200 ribu warga selama militer rezim orde baru "menertibkan" daerah itu pada 1970an. Tak kurang kisah yang sama tragisnya terjadi di Papua.
Maka, ketika rezim orde baru dijatuhkan gerakan pro demokrasi, kepercayaan daerah-daerah bergolak itu atas "proyek bersama" yang bernama Indonesia sudah pupus lebih awal sebagai reaksi atas politik kekerasan orde baru. Lepasnya Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste mungkin satu perkecualian, karena aneksasi yang dilakukan rezim orde baru ke wilayah itu adalah satu kecelakaan sejarah dari skenario Perang Dingin. Tetapi, gejolak di Aceh dan Papua, adalah ujian berat pada masa reformasi.
Setidaknya, untuk menutup perbincangan ini, ada tiga hal pokok, yang bisa dipetik untuk mempertimbangkan nasionalisme Indonesia ke depan.
Pertama, pengalaman nasionalisme dan kemunculan negara baru di Eropa selama lima abad terakhir, seperti yang dikutip dari Tilly di awal tulisan ini, menunjukkan gejala munculnya ’state’ selalu diawali oleh reaksi atas homogenisasi yang dilakukan oleh model state-led nationalism. Kecenderungan meningkatnya tuntutan otonomi politik atas nama perbedaan kultural, sebetulnya terjadi dalam dua kondisi tertentu. Pertama, ketika sebuah rezim memaksakan agama resmi atau kultur etnis dominan atas warga minoritas. Kedua, ketika empire (rezim) mengencangkan kendali politik atas rakyat yang sebelumnya menikmati otonomi yang longgar. Kemunculan negara-negara baru yang homogen di Eropa kerap dimotori oleh state-seeking nationalism, suatu klaim dari perwakilan politik yang tidak mendapat akses kontrol atas suatu ’state’, lalu mengklaim otonomi politik, atau bahkan memisahkan diri, atas dasar perbedaan identitas budaya. Tilly menulis, sebelum tahun 1800, rata-rata corak nasionalisme adalah state-led, tetapi setelah tahun itu, state-seeking nationalism menjadi motor dari revolusi di Eropa.11 Belajar pada kenyataan sejarah itu, format nasionalisme kita harus memberi tempat kepada kebaruan, dalam hal ini mendemokratiskan hubungan pusat dan daerah, termasuk keberanian menguji bentuk federalisme.
Kedua, dengan munculnya kekerasan komunal yang dipicu oleh konflik agama atau etnis di berbagai wilayah nusantara, atau dalam derajat lebih kualitatif adalah mengerasnya ethno-nationalism, maka nasionalisme Indonesia harus dikembalikan menjadi "proyek bersama." Pemberian otonomi yang luas atau bahkan "self-government" kepada wilayah bergolak itu adalah cara untuk tetap membuat warga daerah tetap ambil bagian dari "proyek bersama" Indonesia. Selain itu, arah pembangunan ekonomi yang berkeadilan menjadi prioritas, karena federalisme atau otonomi yang miskin, sama saja dengan perubahan yang nihil.
Ketiga, nasionalisme baru Indonesia harus mampu menghadapi kecenderungan global. Karena itu ”civic nationalism” atau nasionalisme kewargaan harus menjadi agenda dari ’proyek bersama’. Nasionalisme ini disebut ’civic’ karena dia adalah antitesa dari nasionalisme berbasiskan etnik. Nasionalisme yang ’civic’ mampu menempatkan segenap elemen bangsa melampaui agama, ras dan suku sebagai komunitas setara, dan mendapatkan hak-hak penuh. Dengan begitu, nasionalisme ini secara inheren berciri demokratik karena dia dibangun beralaskan prinsip kedaulatan rakyat. Nasionalisme yang ’civic’ juga menjadi semacam ”etik” dalam menjaga martabat bangsa, dimana perilaku buruk seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah cacat politik yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.
Nasionalisme Indonesia menghadapi problem yang tak mudah dalam mengawinkan ’nation-state’ sebagai sebuah institusi politik solid. Nasionalisme adalah fenomena psikologis yang membutuhkan perasaan keterlibatan, dan disposisi yang berbeda dengan ’nation-state’ sebagai institusi. Realitas sosial politik menunjukkan hadirnya "sentimen nasionalisme" pada bangsa-bangsa yang tidak mempunyai ’State.’ Dari perspektif ini, menarik menyimak pertanyaan Guibernau:
Kita lalu teringat Indonesia sebagai "proyek bersama" yang belum selesai. Suatu ’nation’ yang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, dan mencoba menyatukan ’old nations’ yang ada di nusantara. Karena itulah, pengalaman ”menjadi” bangsa adalah juga bergerak dalam logika Kantian, yaitu meningkatkan kesadaran fenomena kesukuan yang in-it-self dan partikular itu, menjadi for-it-self, yang lebih menasional dan universal. Lalu, bagaimana membuat ’State’ yang bisa mengakomodasi variasi spektrum agama dan suku, dan bahkan menampung revivalisme ’old nationalities’ di sejumlah daerah saat ini. Mungkin ’civic nationalism’ yang dipraktikan di Inggris sejak pertengahan abad 18 bisa menjadi inspirasi, bagaimana Great Britain bisa berhasil menjadi satu ’negara-bangsa’, yang sebenarnya terdiri dari empat bangsa berbeda: Irish, Scots, Welsh, dan English.13***
Nezar Patria, Mahasiswa pascasarjana Department of International History, London School of Economics and Political Science (LSE).
Artikel ini sebelumnya merupakan Pengantar untuk diskusi ”Indonesia : Antara Kontingensi Historis, Nasionalisme dan Keniscayaan Logis dalam Peta Global Politik Kontemporer,” diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) The United Kingdom, Aula KBRI di London, 6 Juli 2007.
Catatan kaki:
1Tilly, C., “States and nationalism in Europe 1492-1992,” Theory and Society, 1994: 23 (1), p. 33
2Anderson, B., “Indonesian Nationalism Today and in the Future,” (Cornell: Ithaca, 1999), p. 2
3Guibernau, M., “Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity Press: London, 2005), p. 47
4‘Nation’ disini merujuk pada definisi dari Guibernau: ‘nation is a human group conscious of forming a community, sharing a common culture, attached to a clearly demarcated territory, having a common past and common project for the future and claiming the right to rule itself’. Guibernau, M., "Nationalisms," ibid, p.47
5Anderson, B., ibid, p.3
6Patut dicatat ide perjuangan politik lintas batas teritorial sebenarnya sudah dirintis oleh Sarekat Islam yang lahir 1912 di Jawa, dan gerakan itu menyebar ke Sumatera melalui Bukittinggi. Misalnya, Teungku Budiman dari Aceh, pada 1920 bertemu dengan Haji Tjokroaminoto pimpinan SI di Jawa, dan menyatakan mendukung perlawanan SI atas Belanda. Lihat Reid, A., “The Blood of The People,” (Oxford: Kuala Lumpur, 1979), p.18.
7Anderson, B., ibid, p.3
8Tentang fungsi “the myth of war experience” bagi rezim penguasa bisa dilihat pada pengalaman Jerman yang mencoba menutupi kekalahannya atas Perancis pada Perang Dunia I, dan menjadikan mitos itu untuk menagih ‘will to sacrifice’ dari warganya. Lebih jauh mitos itu dipelihara oleh rezim selanjutnya, dan bahkan mengesahkan “brutalisasi politik” yang melempangkan jalan bagi fasisme Nazi. Lihat George L Mosse, “The Fallen Soldier, Reshaping The Memory of The World Wars,” (Oxford, 1990), p 7 dan p. 159.
9Drake, C., “National Integration in Indonesia, Patterns and Policies,” (Honolulu, 1989), p.263-264.
10Nordholt, Nico S., “The Janus Face of The Indonesian Armed Forces” dalam Kees Koonings dan Dirk Kruijt (ed), “Political Armies, The Military and Nation Building in the Age of Democracy,” (Zed Books: London, 2002), p.145
11Tilly, C., ibid, pp. 33-35
12Guibernau, M., ibid, p. 44
13Ignatieff, M., “Blood and Belonging,” (Vintage: London, 1994), p. 4
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://www. acehinstitute.org/, Senin 09 Juli 2007.
NASIONALISME, bagi generasi Indonesia hare gene, mungkin bukan termasuk barang asyik ditimbang, dibedah, atau dipikirkan kembali. Banyak orang menyimpulkan, kita berada pada senjakala nasionalisme. Fajar baru dunia adalah globalisasi, yang telah menggerus tapal batas teritorial, dan mengaburkan persepsi atas borders, sesuatu yang justru sangat esensial dalam doktrin nasionalisme. Karena itu, berbicara soal nasionalisme akan kedengaran katrok, dan mereka yang berapi-api membelanya terancam dicap pendekar kesiangan.
Nasionalisme kita hari-hari ini memang terasa menjadi sesuatu yang banal, atau sesuatu yang mengalami pendangkalan makna. Lebih sedih lagi, dia hanya berarti sejenak saja, pada upacara bendera, atau saat bendera merah putih dikibarkan pada acara olahraga. Saya pikir, banalitas itu terjadi karena 'state' yang tak begitu berhasil memberi arah bagi 'nation,' atau gagal melakukan konstruksi nasionalisme sebagai "proyek bersama" (common project) bagi seluruh warga. Dalam konteks Indonesia, mengutip sejarawan sosial Charles Tilly, nasionalisme kita adalah ’state-led nationalism.’1 Semacam nasionalisme yang dibangun dari atas, dan lalu meluncur ke bawah.
Sebelum membahas lebih jauh, agaknya penting menjernihkan lebih dulu salah kaprah yang kerap muncul dalam membicarakan nasionalisme. Adalah benar wilayah perbincangan nasionalisme tak bisa dipisahkan dari soal 'nation-state.' Tetapi, hubungan keduanya tidaklah selalu identik. 'State' pada banyak kasus dalam sejarah, lebih dulu muncul daripada 'nation.' Dan sejarah membuktikan, perkawinan keduanya menjadi 'nation-state,' mengutip Ben Anderson, tidaklah selalu bahagia.2
Saya mengikuti terminologi neo-Weberian yang mengartikan 'State' sebagai ”satu komunitas manusia yang berhasil mengklaim legitimasi penggunaan kekerasan fisik dalam satu wilayah tertentu.”3. Asal usul ’negara’ Indonesia, misalnya, bisa ditarik pada abad ke-17, saat Belanda dengan VOC-nya di Batavia menaklukan Jawa dan beberapa daerah lain di nusantara. Penaklukan itu berpuncak lewat perang brutal di berbagai wilayah nusantara sepanjang abad 19. Selama tigaratus limapuluh tahun, dimensi wilayah dari "negara kolonial" itu berubah-ubah. Ketika merdeka, teritori bekas jajahan itu menjadi semacam patokan batas dari apa yang kita kenal sebagai "Indonesia."
Jadi, dasar teritorial 'state' kita saat ini adalah "warisan kolonial." Dia lahir dari proses pemutusan sejarah kolonialisme pada 1945, dengan upaya ”pemindahan kekuasaan (dari negara kolonial) dan sebagainya,” yang ”dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” Meski Sukarno dan Hatta melakukan klaim ”atas nama bangsa Indonesia,” tetapi 'nation' yang dimaksud masih berada dalam wilayah imajiner.4 Batasnya adalah ”sentiment of belonging to a community,” rasa memiliki kepada suatu komunitas yang sama-sama tertindas (oleh kolonial Belanda), dan berkeinginan memutuskan nasib politik mereka bersama.
Maka, jika 'nation' diartikan sebagai suatu proyek bersama untuk sekarang dan masa depan, Indonesia sesungguhnya adalah proyek yang belum final. Dia dalam proses ”menjadi”, dan pemenuhannya sebagai ’bangsa’ harus terus diisi oleh berbagai generasi. Orientasi ke masa depan inilah—dan bukan pada masa lalu, yang menjadi ’common platform’ pada gerakan kaum muda 1920an, seperti ditunjukkan oleh kebangkitan organisasi yang lintas batas lokalitas, seperti Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamienten Bond, Jong Minahasa dan lain-lain.
Satu cara pandang revolusioner tentang ’nation’ telah terjadi pada saat itu, ketika kaum muda 1920an tidak lagi melihat masa lalu, mengesampingkan kenyataan bahwa sebetulnya kerajaan-kerajaan di nusantara pernah saling berperang dan menaklukan. Perjuangan melawan sesuatu yang ’asing’ atau ’Barat’ yang dulu dilakukan para elite lokal, tidak pernah merujuk pada bayangan tentang ’Indonesia.’ Misalnya, sejarah mencatat Pangeran Diponegoro yang angkat senjata melawan Belanda, sebetulnya bukan didorong oleh kesadaran ’nasional,’ tetapi suatu perang yang awal mulanya dipicu pergulatan kekuasan di dalam kraton Yogyakarta, tentang ekonomi kaum aristokrat di Jawa yang tergerus oleh proyek "Jalan Raya Pos" Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendels, yang membentang dari Jawa bagian barat sampai ke timur. Tetapi, lebih seabad kemudian, kaum muda yang berkumpul pada Kongres Pemuda 1928, bergerak dengan kesadaran lebih maju dari Diponegoro, membangun satu komitmen politik Indonesia modern, suatu benih konsep tentang apa yang disebut ’bangsa’.
Itu sebabnya, pada awal kemerdekaan, obsesi terbesar Sukarno adalah apa yang disebutnya sebagai "nation character building." Dalam pikiran Bung Karno, karakter politik nasionalisme Indonesia adalah anti imperialisme, anti kolonialisme, sekaligus pro-perdamaian. Sukarno menolak nasionalisme ”gontok-gontokkan.” Tujuan nasionalisme ala Sukarno adalah membangkitkan rasa percaya diri sebagai bangsa besar, yang sanggup menyelesaikan masalah sendiri, dan rela berkorban untuk kepentingan bersama.
Semangat berkorban (will to sacrifice) adalah aspek penting dari nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, semangat berkorban ini sebetulnya sudah muncul dalam bentuk perlawanan daerah pada masa kolonial, tetapi belum mendapat apa yang disebut Anderson sebagai "horizontal comradeship."5 Dalam soal ini, saya berpendapat, "horizontal comradeship" atas nama "Indonesia" mengalami intensifikasi makna pada era 1945-1949, saat perang mempertahankan kemerdekaan telah memperluas dan memperkuat rasa kebersamaan.6 Pada saat itulah, bagaimana laskar rakyat bersatu, melintas batas, seperti yang ditunjukkan oleh perlawanan ”10 November” di Surabaya, Krawang-Bekasi, atau Medan Area di Sumatera Timur. Bagaimana Daud Beureueh, tokoh revolusioner di Aceh, mengirimkan pasukan ke Medan Area, untuk mempertahankan "proyek bersama" dari ’nation’ yang muda itu, melawan agresi Belanda. Atau, para laskar rakyat di Jawa Barat dan Jawa tengah yang terlibat di pertempuran "Krawang dan Bekasi."
Tentu, kita terhenyak ketika pada masa rezim orde baru justru kekuatan militer yang lahir dari revolusi kemerdekaan itu, seperti dicatat Anderson, malah mengalami distorsi fungsi yang sangat serius, dimana tentara republik ”tidak lagi berperang melawan kekuatan eksternal tetapi menindas rakyatnya sendiri, yang tak lain diambil dari tradisi militer kolonial.”7 Jika nasionalisme adalah ”sentiment of belonging,” suatu proses psikologis, dan 'State' adalah sesuatu yang instrumental sebagai “alat legitimasi penggunaan kekerasan,” atau lebih tajam lagi dalam pendekatan Marxian sebagai ”alat dari kelas yang berkuasa,” maka kekerasan yang terjadi pada ”Negara Orde Baru” tampaknya harus dipahami sebagai ekspresi dari kepentingan kelas tertentu.
Dan inilah yang terjadi pada masa sebelumnya, dimana 'state' ternyata tak cukup mengakomodasi spektrum politik yang muncul. Bung Karno mencoba mempersatukan semua aliran politik yang saling bergulat menentukan arah 'state' Indonesia yang baru terbentuk itu. Tetapi seperti dicatat sejarah, usaha ini hanya separuh berhasil. Dia sukses dalam pengertian merumuskan satu dasar nilai bangsa yang kita kenal sebagai Pancasila, yang bukan saja dijadikan sebagai ”proyek bersama,” tapi juga nilai itu difiksasikan sebagai ideologi nasional.
Pada dasarnya, revolusi Indonesia berwatak nasionalis. Sukarno mencoba mendamaikan nasionalis sekuler, yang diwakili kaum nasionalis dan komunis, serta nasionalis-religius diwakili kelompok agama. Tetapi, gesekan politik kaum nasionalis, agama dan komunis, yang oleh Sukarno dianggap pemilik saham sah dari revolusi Indonesia itu, gagal dipersatukan di bawah proyek "Nasakom." Obsesi persatuan ini sudah dirintisnya sebelum Indonesia merdeka, lewat tulisan ”Nasionalisme, Islam dan Marxisme” pada 1926. Tetapi, pada akhirnya konflik itu berujung dengan tragedi nasional, pembantaian anak bangsa sendiri pada 1965.
Sejak awal perjalanan Indonesia sebagai bangsa, membangun ’nation’ sebagai proyek bersama bukanlah mudah. Meski Sukarno sukses mempersatukan wilayah yang terpecah-pecah itu, tetapi, di era 1950an, dia tergoda meningkatkan peran ”state’ sebagai alat untuk menjaga apa yang disebut ”mitos pengalaman perang,8 yang dalam konteks ini, saya kira, merujuk pada perang revolusi melawan agresi kolonial 1945-1949. Bahwa ”revolusi belum selesai” dan harus terus berlanjut dalam upaya menahan laju agresi dari "proyek neo-kolonialisme dan imperialisme." Dengan bahasa lain, upaya perayaan atas "mitos pengalaman perang revolusi kemerdekaan" itu sebetulnya adalah usaha melegitimasi mobilisasi dukungan bagi program Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit 5 Juli 1959.
Sampai disini, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim,” yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.
Sekali lagi, "mitos pengalaman perang" pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui "perang melawan nekolim" itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi "proyek bersama" melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.
Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus," nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang "kiri," dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi "kanan."
Kegagalan "Nasakom," dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru,” dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok yaitu, secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik.
Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai "proyek bersama." Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.
Peran dominan ’state’ pada rezim orde baru itu berdampak amat buruk pada perkembangan ’nation’ selanjutnya. Dengan sentralisme rezim otoriter militeristik itu, maka perjumpaan Negara Orde Baru dengan pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang. Jika Sukarno menggelorakan sentimen nasionalisme dengan sesatu yang ”mengangkat” martabat bangsa, dan dengan progresif mengisi karakter nasionalisme Indonesia, maka strategi integrasi nasional gaya Suharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.
Bahkan jauh lebih buruk. Sengaja atau tidak, orde baru melakukan politik homogenisasi dengan Jawa sebagai pusat. Sekali lagi, upaya itu mengkhianati nasionalisme sebagai "proyek bersama." Ketidakpuasan atas elit politik non-Jawa di daerah-daerah mencapai puncaknya pada era kediktatoran ini. Misalnya, pada 1980 dari seluruh 12 Kodam yang ada pada waktu di luar Jawa, semua berada di tangan komandan militer dari Jawa. Dominasi etnik Jawa bahkan terlihat dari komposisi kepemimpinan tentara, 89 persen dari petinggi militer saat itu, jika bukan Jawa (80%) adalah Sunda (9%). Selain menggunakan Golkar sebagai alat politik orde baru, militer juga mendominasi parlemen yang memiliki 100 kursi di DPR (dari 460 kursi), yang dipilih tanpa pemilu tapi ditunjuk langsung oleh presiden.9
Dengan begitu, nasionalisme orde baru yang militeristik adalah sesuatu yang diabdikan untuk mengamankan teritorial, yang mengambil klaim kebenarannya lewat mistifikasi UUD 1945, dengan asumsi batas wilayah adalah "suci." Teritorialisme itu lalu meminggirkan semua urusan tentang "hak demokratis warga," dan mementingkan ’tanah’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan "manusia" atau "warga" di atasnya. Struktur teritorial itu membayangi struktur politik sipil sampai di tingkat pedesaan. Termasuk juga fungsi militer memeriksa orientasi politik dan mengendalikan organisasi sosial, seperti pers, lembaga agama dan badan pendidikan.10 Sekelompok orang yang menentang rezim dengan sendirinya dianggap ”tidak nasionalis,” atau lebih parah lagi ”komunis” atau ”separatis.” Kedua kata itu adalah juga berarti bukan bagian warga ’nation’ dalam versi rezim orde baru. Para keluarga eks-PKI, misalnya, telah dikeluarkan dari "proyek bersama," dan menempatkan mereka sebagai warga pariah tanpa hak politik.
Kegilaan tasfir nasionalisme seperti itu bahkan tidak terjadi pada orde sebelumnya. Misalkan Aceh, pergolakan Daud Beureueh dengan DI/TII di tahun 1953-1960 masih membuka kesempatan memperbincangkan kembali "proyek bersama" itu. Tetapi, ruang itu tertutup pada masa orde baru, ketika Hasan di Tiro menggugat dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 1976, maka daerah itu pun menjadi ajang operasi militer yang masif dan represif, yang menggasak warga sipil tak berdosa dengan membabi-buta. Sama halnya dengan Timor Timur yang dalam rekaman lembaga hak asasi manusia internasional, telah kehilangan 200 ribu warga selama militer rezim orde baru "menertibkan" daerah itu pada 1970an. Tak kurang kisah yang sama tragisnya terjadi di Papua.
Maka, ketika rezim orde baru dijatuhkan gerakan pro demokrasi, kepercayaan daerah-daerah bergolak itu atas "proyek bersama" yang bernama Indonesia sudah pupus lebih awal sebagai reaksi atas politik kekerasan orde baru. Lepasnya Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste mungkin satu perkecualian, karena aneksasi yang dilakukan rezim orde baru ke wilayah itu adalah satu kecelakaan sejarah dari skenario Perang Dingin. Tetapi, gejolak di Aceh dan Papua, adalah ujian berat pada masa reformasi.
Setidaknya, untuk menutup perbincangan ini, ada tiga hal pokok, yang bisa dipetik untuk mempertimbangkan nasionalisme Indonesia ke depan.
Pertama, pengalaman nasionalisme dan kemunculan negara baru di Eropa selama lima abad terakhir, seperti yang dikutip dari Tilly di awal tulisan ini, menunjukkan gejala munculnya ’state’ selalu diawali oleh reaksi atas homogenisasi yang dilakukan oleh model state-led nationalism. Kecenderungan meningkatnya tuntutan otonomi politik atas nama perbedaan kultural, sebetulnya terjadi dalam dua kondisi tertentu. Pertama, ketika sebuah rezim memaksakan agama resmi atau kultur etnis dominan atas warga minoritas. Kedua, ketika empire (rezim) mengencangkan kendali politik atas rakyat yang sebelumnya menikmati otonomi yang longgar. Kemunculan negara-negara baru yang homogen di Eropa kerap dimotori oleh state-seeking nationalism, suatu klaim dari perwakilan politik yang tidak mendapat akses kontrol atas suatu ’state’, lalu mengklaim otonomi politik, atau bahkan memisahkan diri, atas dasar perbedaan identitas budaya. Tilly menulis, sebelum tahun 1800, rata-rata corak nasionalisme adalah state-led, tetapi setelah tahun itu, state-seeking nationalism menjadi motor dari revolusi di Eropa.11 Belajar pada kenyataan sejarah itu, format nasionalisme kita harus memberi tempat kepada kebaruan, dalam hal ini mendemokratiskan hubungan pusat dan daerah, termasuk keberanian menguji bentuk federalisme.
Kedua, dengan munculnya kekerasan komunal yang dipicu oleh konflik agama atau etnis di berbagai wilayah nusantara, atau dalam derajat lebih kualitatif adalah mengerasnya ethno-nationalism, maka nasionalisme Indonesia harus dikembalikan menjadi "proyek bersama." Pemberian otonomi yang luas atau bahkan "self-government" kepada wilayah bergolak itu adalah cara untuk tetap membuat warga daerah tetap ambil bagian dari "proyek bersama" Indonesia. Selain itu, arah pembangunan ekonomi yang berkeadilan menjadi prioritas, karena federalisme atau otonomi yang miskin, sama saja dengan perubahan yang nihil.
Ketiga, nasionalisme baru Indonesia harus mampu menghadapi kecenderungan global. Karena itu ”civic nationalism” atau nasionalisme kewargaan harus menjadi agenda dari ’proyek bersama’. Nasionalisme ini disebut ’civic’ karena dia adalah antitesa dari nasionalisme berbasiskan etnik. Nasionalisme yang ’civic’ mampu menempatkan segenap elemen bangsa melampaui agama, ras dan suku sebagai komunitas setara, dan mendapatkan hak-hak penuh. Dengan begitu, nasionalisme ini secara inheren berciri demokratik karena dia dibangun beralaskan prinsip kedaulatan rakyat. Nasionalisme yang ’civic’ juga menjadi semacam ”etik” dalam menjaga martabat bangsa, dimana perilaku buruk seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah cacat politik yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.
Nasionalisme Indonesia menghadapi problem yang tak mudah dalam mengawinkan ’nation-state’ sebagai sebuah institusi politik solid. Nasionalisme adalah fenomena psikologis yang membutuhkan perasaan keterlibatan, dan disposisi yang berbeda dengan ’nation-state’ sebagai institusi. Realitas sosial politik menunjukkan hadirnya "sentimen nasionalisme" pada bangsa-bangsa yang tidak mempunyai ’State.’ Dari perspektif ini, menarik menyimak pertanyaan Guibernau:
”Apa yang terjadi jika sebuah ’bangsa’ dimasukkan atau diserap oleh satu ’nation-state,’ dan lalu menjadi sebuah ’bangsa’ tanpa ’negara’? Ini yang terjadi di Eropa Barat seperti Catalonia, Basque dan Irlandia Utara, dan ini pula yang terjadi di Eropa Timur, manakala 'old nationalities’ muncul mengklaim hak untuk merdeka. Seberapa jauh sebuah ’nation’ tanpa ’state’ itu bisa bertahan atau berkembang dalam ’alien state’? Lalu seberapa jauh sebuah ’state’ bisa mengakui dan memajukan bangsa-bangsa lain yang hidup di dalamnya tanpa mencapai titik konfrontasi?"12
Kita lalu teringat Indonesia sebagai "proyek bersama" yang belum selesai. Suatu ’nation’ yang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, dan mencoba menyatukan ’old nations’ yang ada di nusantara. Karena itulah, pengalaman ”menjadi” bangsa adalah juga bergerak dalam logika Kantian, yaitu meningkatkan kesadaran fenomena kesukuan yang in-it-self dan partikular itu, menjadi for-it-self, yang lebih menasional dan universal. Lalu, bagaimana membuat ’State’ yang bisa mengakomodasi variasi spektrum agama dan suku, dan bahkan menampung revivalisme ’old nationalities’ di sejumlah daerah saat ini. Mungkin ’civic nationalism’ yang dipraktikan di Inggris sejak pertengahan abad 18 bisa menjadi inspirasi, bagaimana Great Britain bisa berhasil menjadi satu ’negara-bangsa’, yang sebenarnya terdiri dari empat bangsa berbeda: Irish, Scots, Welsh, dan English.13***
Nezar Patria, Mahasiswa pascasarjana Department of International History, London School of Economics and Political Science (LSE).
Artikel ini sebelumnya merupakan Pengantar untuk diskusi ”Indonesia : Antara Kontingensi Historis, Nasionalisme dan Keniscayaan Logis dalam Peta Global Politik Kontemporer,” diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) The United Kingdom, Aula KBRI di London, 6 Juli 2007.
Catatan kaki:
1Tilly, C., “States and nationalism in Europe 1492-1992,” Theory and Society, 1994: 23 (1), p. 33
2Anderson, B., “Indonesian Nationalism Today and in the Future,” (Cornell: Ithaca, 1999), p. 2
3Guibernau, M., “Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity Press: London, 2005), p. 47
4‘Nation’ disini merujuk pada definisi dari Guibernau: ‘nation is a human group conscious of forming a community, sharing a common culture, attached to a clearly demarcated territory, having a common past and common project for the future and claiming the right to rule itself’. Guibernau, M., "Nationalisms," ibid, p.47
5Anderson, B., ibid, p.3
6Patut dicatat ide perjuangan politik lintas batas teritorial sebenarnya sudah dirintis oleh Sarekat Islam yang lahir 1912 di Jawa, dan gerakan itu menyebar ke Sumatera melalui Bukittinggi. Misalnya, Teungku Budiman dari Aceh, pada 1920 bertemu dengan Haji Tjokroaminoto pimpinan SI di Jawa, dan menyatakan mendukung perlawanan SI atas Belanda. Lihat Reid, A., “The Blood of The People,” (Oxford: Kuala Lumpur, 1979), p.18.
7Anderson, B., ibid, p.3
8Tentang fungsi “the myth of war experience” bagi rezim penguasa bisa dilihat pada pengalaman Jerman yang mencoba menutupi kekalahannya atas Perancis pada Perang Dunia I, dan menjadikan mitos itu untuk menagih ‘will to sacrifice’ dari warganya. Lebih jauh mitos itu dipelihara oleh rezim selanjutnya, dan bahkan mengesahkan “brutalisasi politik” yang melempangkan jalan bagi fasisme Nazi. Lihat George L Mosse, “The Fallen Soldier, Reshaping The Memory of The World Wars,” (Oxford, 1990), p 7 dan p. 159.
9Drake, C., “National Integration in Indonesia, Patterns and Policies,” (Honolulu, 1989), p.263-264.
10Nordholt, Nico S., “The Janus Face of The Indonesian Armed Forces” dalam Kees Koonings dan Dirk Kruijt (ed), “Political Armies, The Military and Nation Building in the Age of Democracy,” (Zed Books: London, 2002), p.145
11Tilly, C., ibid, pp. 33-35
12Guibernau, M., ibid, p. 44
13Ignatieff, M., “Blood and Belonging,” (Vintage: London, 1994), p. 4
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://www. acehinstitute.org/, Senin 09 Juli 2007.
Title : NASIONALISME INDONESIA: “Proyek Bersama” yang Belum Selesai ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/07/nasionalisme-indonesia-proyek-bersama_10.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel NASIONALISME INDONESIA: “Proyek Bersama” yang Belum Selesai ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment