Menakar Ulang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir - M.Riza Damanik
BELUM selesai dengan pro-kontra dari penetapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan lahirnya Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP-PPK), yang disahkan pada tanggal 26 Juni 2007 lalu. Tidak berbeda dengan UUPM, UUPWP-PPK-pun mengeluarkan gebrakan baru, satu di antaranya adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).
Dalam UU tersebut disebutkan, HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19). Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu ditakar ulang dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh dan Yogyakarta, bencana banjir dan abrasi hampir di seluruh desa-desa pesisir, serta gelombang tinggi yang akhir-akhir ini semakin kerap melanda perairan Indonesia. Semua itu memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana.
Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya UU ini mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan menjadi kontra produktif dengan semangat negara dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat.
Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencana kepada pelaku usaha – dalam luasan dan waktu tertentu – justru akan membatasi peran pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminan dari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, seperti yang kerap terjadi pada sektor lain, seperti pertambangan dan kehutanan.
Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangat rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan UU. Budaya birokrasi yang rumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut.
Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan, debat mengenai hak kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.
Keberadaan HP-3 disela-sela mekanisme pengelolaan yang bernuansa sektoral, desentralisasi, industrialisasi, serta diperhadapkan pada kebutuhan atas pengakuan eksistensi pengelolaan masyarakat, justru akan menjadi stimulus dalam meningkatnya intensitas konflik terkait hak kepemilikan. Apalagi, dengan keistimewaan yang dimiliki oleh sertifikat HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank (Pasal 20).
Sudah sepatutnya Indonesia sebagai negara kepulauan, menjadikan sektor kelautan sebagai garda terdepan penyelamatan bangsa. Keberadaan HP-3 yang lebih besar mudharat-nya dari manfaat sewajarnya ditakar ulang. Dengan begini, lahirnya UUPWP-PPK, dapat dijadikan momentum pembenahan arah pembangunan kelautan nasional.***
M. Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalah FORUM Keadilan: No. 18, 26 Agustus 2007 (halaman 46).
BELUM selesai dengan pro-kontra dari penetapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan lahirnya Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP-PPK), yang disahkan pada tanggal 26 Juni 2007 lalu. Tidak berbeda dengan UUPM, UUPWP-PPK-pun mengeluarkan gebrakan baru, satu di antaranya adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).
Dalam UU tersebut disebutkan, HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19). Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu ditakar ulang dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh dan Yogyakarta, bencana banjir dan abrasi hampir di seluruh desa-desa pesisir, serta gelombang tinggi yang akhir-akhir ini semakin kerap melanda perairan Indonesia. Semua itu memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana.
Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya UU ini mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan menjadi kontra produktif dengan semangat negara dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat.
Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencana kepada pelaku usaha – dalam luasan dan waktu tertentu – justru akan membatasi peran pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminan dari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, seperti yang kerap terjadi pada sektor lain, seperti pertambangan dan kehutanan.
Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangat rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan UU. Budaya birokrasi yang rumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut.
Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan, debat mengenai hak kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.
Keberadaan HP-3 disela-sela mekanisme pengelolaan yang bernuansa sektoral, desentralisasi, industrialisasi, serta diperhadapkan pada kebutuhan atas pengakuan eksistensi pengelolaan masyarakat, justru akan menjadi stimulus dalam meningkatnya intensitas konflik terkait hak kepemilikan. Apalagi, dengan keistimewaan yang dimiliki oleh sertifikat HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank (Pasal 20).
Sudah sepatutnya Indonesia sebagai negara kepulauan, menjadikan sektor kelautan sebagai garda terdepan penyelamatan bangsa. Keberadaan HP-3 yang lebih besar mudharat-nya dari manfaat sewajarnya ditakar ulang. Dengan begini, lahirnya UUPWP-PPK, dapat dijadikan momentum pembenahan arah pembangunan kelautan nasional.***
M. Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalah FORUM Keadilan: No. 18, 26 Agustus 2007 (halaman 46).
Title : Menakar Ulang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/08/menakar-ulang-hak-pengusahaan-perairan_22.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Menakar Ulang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment