Buruh Kontrak Bukan (Cuma) Masalah Kemanusiaan - Dwi Siti Karunia
KUTIPAN di atas diucapkan Kepala Bidang Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Karawang, menanggapi aksi Gabungan Serikat Pekerja 20 Februari 2008 yang mengajukan 2 tuntutan saling terkait yaitu, dihapuskannya sistem buruh kontrak dan outsourcing serta, menggugat kinerja pengawasan pemerintah yang dirasakan sangat lamban menyelesaikan berbagai permasalahan perburuhan. Aksi serupa juga dilakukan di Bandung, Jakarta, Tangerang dan Bekasi pada hari yang sama.
Jawaban seorang pejabat macam Imas, mestinya membuat kita melihat bahwa permasalahan buruh tidak lepas dari masalah politik. Ini soal politik yang sederhana dan jelas yaitu, menyangkut sikap apa yang dipilih negara ketika mengatasi permasalahan yang menimpa rakyat pekerjanya. Pernyataan Imas memberikan gambaran nyata, bagaimana negara berlindung di balik ketentuan tekstual undang-undang sebagai upaya menghindar dari tanggung jawab menegakkan keadilan.
Tapi, apakah Imas tahu bahwa justru pada pasal 59, perihal buruh kontrak dinyatakan secara tegas, bahwa buruh Kontrak -- dalam istilah UU 13/2003 disebut sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dapat dilaksanakan dengan ketentuan: pekerjaan yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama 3 tahun, pekerjaan musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk dan kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Intinya tidak boleh ada sistem kerja kontrak pada pekerjaan yang bersifat tetap.
Sementara, outsourcing hanya boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu, dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Kenapa aturan yang sudah sangat jelas dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) tak dapat ditegakkan? Bukankah itu artinya pemerintah sengaja membiarkan pemilik modal melanggar aturan negara (UU)? Kelemahan UU ini adalah tidak diaturnya sanksi buat pelanggaran yang dilakukan pemilik modal.
Buruh Kontrak dan UU
Berdiam diri, menunggu kebaikan negara terlebih kebaikan pemilik modal, merupakan sikap keliru. Apalagi kalau kita periksa, sejarah politik UUK ini adalah bagian paket tiga kebijakan negara pesanan IMF dan lintah darat dunia yang butuh aturan-aturan sosial yang bisa tunduk pada mekanisme pasar. Peran pemerintah dalam UUK dibuat untuk tidak melindungi kaum buruh dan justru, menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Padahal, semangat mekanisme pasar bebas bertujuan menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, mengebiri serikat buruh dan melegitimasi kebijakan upah murah. Pun demikian, UUK ini oleh pemilik modal masih dianggap lebih menguntungkan buruh daripada kepentingan modal.
Mengatasi posisi negara semacam itu, kaum buruh harusnya menguatkan dirinya melalui pembentukan alat perjuangan yang benar-benar kuat untuk mengatasi kekuasaan modal. Namun, upaya tersebut tidak mudah mengingat justru kondisi subjektif buruh kontrak membuat mereka menjadi apatis dengan kondisi yang ada dan cenderung bersifat pragmatis. Ini tercermin dari ungkapan yang sangat lazim mereka lontarkan, "...kontrak lebih baik ketimbang nganggur, toh cari kerja juga susah."
Karena kesempatan kerja sangat terbatas, membuat para buruh kontrak rela membayar sejumlah uang kepada yayasan penyalur atau para calo tenaga kerja yang justru, kebanyakan dikuasai oknum-oknum Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) atau elit serikat buruh gadungan.
Kondisi obyektif semacam itu, menghadirkan hambatan tidak mudah dalam mengorganisir buruh kontrak. Masa kerja yang cenderung pendek, dan ancaman PHK terhadap buruh kontrak yang lebih besar, membuat mereka enggan melibatkan diri dalam serikat, atau membuat minatnya untuk berserikat menjadi sangat rendah. Upaya berjuang secara organisasional melalui serikat buruh, masih sering menghadapi ancaman PHK atau tidak diperpanjang kontraknya dengan berbagai alasan.
Minat berserikat yang rendah pada umumnya disebabkan karena mereka berpikir, sebagai buruh kontrak mereka adalah "warga kelas dua" yang tidak berhak mendapatkan hak-hak sebagaimana buruh tetap. Keadaan ini membuatnya cenderung nrimo. Lebih dari itu, tidak sedikit yang merasa kehadiran serikat akan menganggu hubungan "harmonis" kerja.
Sangat pendeknya masa kerja buruh kontrak, adalah tambahan masalah yang tak kalah rumit. Situasi ini menyulitkan untuk mengorganisir mereka menjadi anggota serikat. Kontrak kerja yang hanya setahun bahkan, hanya enam bulan, membuat serikat yang sudah membangun kontak, berdiskusi dan mengagendakan pembentukan serikat dengan buruh kontrak, menjadi buyar karena kontak buruh di dalam pabrik hilang dan harus memulai dari yang baru lagi. Terlebih, kini pemilik modal akan melakukan upaya apapun untuk menghambat buruh kontrak agar tidak berhubungan dengan serikat, mulai dari ancaman mutasi, tidak diperpanjang kontraknya sampai PHK secara sepihak.
Bagaimana Mengorganisir Buruh Kontrak?
Fenomena buruh kontrak menyimpan sebuah potensi kekuatan yang sangat besar apabila dikelola serius dengan alat perjuangan serikat. Seiring perubahan gerak modal dan siasat licik pemodal, pola pengorganisiran buruh kontrak pun harus berubah, sesuai kebutuhan. Mengorganisir buruh kontrak tidak bisa disamakan dengan pengorganisiran buruh tetap.
Untuk menghadapi masa kerja yang pendek, misalnya, pola pengorganisiran yang dilakukan adalah melalui pola pendekatan komunitas buruh kontrak. Metode ini bisa dimulai melalui pemilihan peta wilayah tempat tinggal buruh kontrak. Pola ini dirasakan cukup efektif, karena buruh kontrak yang di PHK atau tidak diperpanjang kontraknya dipastikan berpindah tempat kerja, namun mereka umumnya jarang berpindah tempat tinggal. Enggan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal yang baru, merupakan salah satu alasannya.
Upaya lain yang ditempuh untuk membangkitkan kesadaran buruh kontrak, tentang pentingnya serikat adalah melalui kampanye yang masif untuk menyadarkan sebanyak mungkin orang tentang hak buruh kontrak yang dirampas. Sebagai buruh, mereka harusnya memiliki hak yang sama atas kesejahteraan, jaminan kerja dan tentu saja, hak untuk berorganisasi. Buruh kontrak yang rata-rata tidak memiliki interaksi dengan serikat, biasanya buta akan informasi-informasi tentang hak-hak normatifnya sehingga, bila ada kampanye yang luas diharapkan akan muncul kesadaran buntuk bersama-sama melakukan perubahan.
Apa yang dilakukan setelah buruh kontrak memiliki pemahaman dan kesadaran akan hak-haknya? Pada gilirannya harus membangun serikat buruh dengan sebuah kesadaran politik, bahwa tidak ada satu pun hak kaum buruh dan masyarakat tertindas lainnya yang diperoleh dengan cuma-cuma. Semua harus direbut dengan kekuatan sendiri, tidak bergantung pada kebaikan orang lain. Maka, upaya panjang mengorganisir buruh kontrak harus tetap dilakukan dengan sebuah kesadaran bahwa nasib mereka, ditentukan oleh sebuah keputusan politik yang pendulumnya hari ini dikuasasi oleh kekuatan pemilik modal.
Jadi, benarlah judul tulisan di atas, bahwa buruh kontrak tidak bisa dilihat cuma sebagai masalah kemanusiaan, menyangkut belas kasihan, dan keprihatinan mendalam. Ada fakta politik tentang kekuatan sistem yang menindas manusia dan mengendalikan negara. Untuk mengubahnya, perlu buruh kontrak yang terorganisir dan berjuang bersama elemen buruh lainnya untuk menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang sangat menindas ini.***
Dwi Siti Kurnia, adalah anggota Serikat Pekerja PT. Supravisi Rama Optik-Karawang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org, SADAR Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 109 Tahun IV – 2008.
"Kami tidak bisa menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing sebab dalam UU 13/2003 operasional outsourcing sudah diatur. Apabila terjadi penyelewengan kami hanya bisa membuat nota pemeriksaaan untuk ditindaklanjuti. Dan saat ini, sekitar 500 perusahaan yang ada di Karawang sudah kami buat nota pemeriksaannya."(Imas Wahyuningsih, Radar Karawang, 21 Februari 2008).
KUTIPAN di atas diucapkan Kepala Bidang Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Karawang, menanggapi aksi Gabungan Serikat Pekerja 20 Februari 2008 yang mengajukan 2 tuntutan saling terkait yaitu, dihapuskannya sistem buruh kontrak dan outsourcing serta, menggugat kinerja pengawasan pemerintah yang dirasakan sangat lamban menyelesaikan berbagai permasalahan perburuhan. Aksi serupa juga dilakukan di Bandung, Jakarta, Tangerang dan Bekasi pada hari yang sama.
Jawaban seorang pejabat macam Imas, mestinya membuat kita melihat bahwa permasalahan buruh tidak lepas dari masalah politik. Ini soal politik yang sederhana dan jelas yaitu, menyangkut sikap apa yang dipilih negara ketika mengatasi permasalahan yang menimpa rakyat pekerjanya. Pernyataan Imas memberikan gambaran nyata, bagaimana negara berlindung di balik ketentuan tekstual undang-undang sebagai upaya menghindar dari tanggung jawab menegakkan keadilan.
Tapi, apakah Imas tahu bahwa justru pada pasal 59, perihal buruh kontrak dinyatakan secara tegas, bahwa buruh Kontrak -- dalam istilah UU 13/2003 disebut sebagai PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dapat dilaksanakan dengan ketentuan: pekerjaan yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama 3 tahun, pekerjaan musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk dan kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Intinya tidak boleh ada sistem kerja kontrak pada pekerjaan yang bersifat tetap.
Sementara, outsourcing hanya boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu, dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Kenapa aturan yang sudah sangat jelas dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) tak dapat ditegakkan? Bukankah itu artinya pemerintah sengaja membiarkan pemilik modal melanggar aturan negara (UU)? Kelemahan UU ini adalah tidak diaturnya sanksi buat pelanggaran yang dilakukan pemilik modal.
Buruh Kontrak dan UU
Berdiam diri, menunggu kebaikan negara terlebih kebaikan pemilik modal, merupakan sikap keliru. Apalagi kalau kita periksa, sejarah politik UUK ini adalah bagian paket tiga kebijakan negara pesanan IMF dan lintah darat dunia yang butuh aturan-aturan sosial yang bisa tunduk pada mekanisme pasar. Peran pemerintah dalam UUK dibuat untuk tidak melindungi kaum buruh dan justru, menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan pada mekanisme pasar. Padahal, semangat mekanisme pasar bebas bertujuan menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, mengebiri serikat buruh dan melegitimasi kebijakan upah murah. Pun demikian, UUK ini oleh pemilik modal masih dianggap lebih menguntungkan buruh daripada kepentingan modal.
Mengatasi posisi negara semacam itu, kaum buruh harusnya menguatkan dirinya melalui pembentukan alat perjuangan yang benar-benar kuat untuk mengatasi kekuasaan modal. Namun, upaya tersebut tidak mudah mengingat justru kondisi subjektif buruh kontrak membuat mereka menjadi apatis dengan kondisi yang ada dan cenderung bersifat pragmatis. Ini tercermin dari ungkapan yang sangat lazim mereka lontarkan, "...kontrak lebih baik ketimbang nganggur, toh cari kerja juga susah."
Karena kesempatan kerja sangat terbatas, membuat para buruh kontrak rela membayar sejumlah uang kepada yayasan penyalur atau para calo tenaga kerja yang justru, kebanyakan dikuasai oknum-oknum Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) atau elit serikat buruh gadungan.
Kondisi obyektif semacam itu, menghadirkan hambatan tidak mudah dalam mengorganisir buruh kontrak. Masa kerja yang cenderung pendek, dan ancaman PHK terhadap buruh kontrak yang lebih besar, membuat mereka enggan melibatkan diri dalam serikat, atau membuat minatnya untuk berserikat menjadi sangat rendah. Upaya berjuang secara organisasional melalui serikat buruh, masih sering menghadapi ancaman PHK atau tidak diperpanjang kontraknya dengan berbagai alasan.
Minat berserikat yang rendah pada umumnya disebabkan karena mereka berpikir, sebagai buruh kontrak mereka adalah "warga kelas dua" yang tidak berhak mendapatkan hak-hak sebagaimana buruh tetap. Keadaan ini membuatnya cenderung nrimo. Lebih dari itu, tidak sedikit yang merasa kehadiran serikat akan menganggu hubungan "harmonis" kerja.
Sangat pendeknya masa kerja buruh kontrak, adalah tambahan masalah yang tak kalah rumit. Situasi ini menyulitkan untuk mengorganisir mereka menjadi anggota serikat. Kontrak kerja yang hanya setahun bahkan, hanya enam bulan, membuat serikat yang sudah membangun kontak, berdiskusi dan mengagendakan pembentukan serikat dengan buruh kontrak, menjadi buyar karena kontak buruh di dalam pabrik hilang dan harus memulai dari yang baru lagi. Terlebih, kini pemilik modal akan melakukan upaya apapun untuk menghambat buruh kontrak agar tidak berhubungan dengan serikat, mulai dari ancaman mutasi, tidak diperpanjang kontraknya sampai PHK secara sepihak.
Bagaimana Mengorganisir Buruh Kontrak?
Fenomena buruh kontrak menyimpan sebuah potensi kekuatan yang sangat besar apabila dikelola serius dengan alat perjuangan serikat. Seiring perubahan gerak modal dan siasat licik pemodal, pola pengorganisiran buruh kontrak pun harus berubah, sesuai kebutuhan. Mengorganisir buruh kontrak tidak bisa disamakan dengan pengorganisiran buruh tetap.
Untuk menghadapi masa kerja yang pendek, misalnya, pola pengorganisiran yang dilakukan adalah melalui pola pendekatan komunitas buruh kontrak. Metode ini bisa dimulai melalui pemilihan peta wilayah tempat tinggal buruh kontrak. Pola ini dirasakan cukup efektif, karena buruh kontrak yang di PHK atau tidak diperpanjang kontraknya dipastikan berpindah tempat kerja, namun mereka umumnya jarang berpindah tempat tinggal. Enggan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal yang baru, merupakan salah satu alasannya.
Upaya lain yang ditempuh untuk membangkitkan kesadaran buruh kontrak, tentang pentingnya serikat adalah melalui kampanye yang masif untuk menyadarkan sebanyak mungkin orang tentang hak buruh kontrak yang dirampas. Sebagai buruh, mereka harusnya memiliki hak yang sama atas kesejahteraan, jaminan kerja dan tentu saja, hak untuk berorganisasi. Buruh kontrak yang rata-rata tidak memiliki interaksi dengan serikat, biasanya buta akan informasi-informasi tentang hak-hak normatifnya sehingga, bila ada kampanye yang luas diharapkan akan muncul kesadaran buntuk bersama-sama melakukan perubahan.
Apa yang dilakukan setelah buruh kontrak memiliki pemahaman dan kesadaran akan hak-haknya? Pada gilirannya harus membangun serikat buruh dengan sebuah kesadaran politik, bahwa tidak ada satu pun hak kaum buruh dan masyarakat tertindas lainnya yang diperoleh dengan cuma-cuma. Semua harus direbut dengan kekuatan sendiri, tidak bergantung pada kebaikan orang lain. Maka, upaya panjang mengorganisir buruh kontrak harus tetap dilakukan dengan sebuah kesadaran bahwa nasib mereka, ditentukan oleh sebuah keputusan politik yang pendulumnya hari ini dikuasasi oleh kekuatan pemilik modal.
Jadi, benarlah judul tulisan di atas, bahwa buruh kontrak tidak bisa dilihat cuma sebagai masalah kemanusiaan, menyangkut belas kasihan, dan keprihatinan mendalam. Ada fakta politik tentang kekuatan sistem yang menindas manusia dan mengendalikan negara. Untuk mengubahnya, perlu buruh kontrak yang terorganisir dan berjuang bersama elemen buruh lainnya untuk menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang sangat menindas ini.***
Dwi Siti Kurnia, adalah anggota Serikat Pekerja PT. Supravisi Rama Optik-Karawang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org, SADAR Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 109 Tahun IV – 2008.
Title : Buruh Kontrak Bukan (Cuma) Masalah Kemanusiaan ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2008/03/buruh-kontrak-bukan-cuma-masalah_27.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Buruh Kontrak Bukan (Cuma) Masalah Kemanusiaan ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment