Trauma Gempa di Nias -
HARYO DAMARDONO
”Biha Tuha! Biha Tuha!” Artinya, ”Sudah Nenek! Sudah Nenek!” Kalimat itu kerap diserukan orang Nias ketika gempa. Mereka meyakini putra Sirao yang bernama Bauwadanö Hia murka, dan kalimat itu dipanjatkan untuk menenangkan putra leluhur mereka.
Dalam buku kompilasi Asal-usul Masyarakat Nias karya Johannes Maria Hammerle, OFM Cap, Bauwadanö Hia menjadi murka ketika ada perang dan darah manusia yang merembes ke dalam tanah mengenai tubuhnya yang telah berubah menjadi ular besar.
Substansi mitologi orang Nias dapat diurai dalam dua unsur. Pertama, gempa telah lama menjadi bagian hidup penduduk Nias sehingga masalah gempa dikaitkan keberadaannya dengan sejarah asal-usul masyarakat Nias. Tentu saja ini menarik dikaji.
Kedua, konflik, pertikaian, perang, atau apa pun namanya dengan ekses darah tertumpah di bumi Nias bukan sesuatu yang luar biasa. Bahkan di Desa Bawamataluo, Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, perselisihan antarpenduduk desa pecah hanya karena dipicu persoalan pilkada Nias Selatan.
Terkait dengan trauma gempa, menarik dikaji dampaknya terhadap masyarakat di Nias, khususnya pada masa rekonstruksi.
”Kami memperoleh laporan, banyak korban gempa bumi trauma. Maka kami datang untuk mengurangi beban trauma,” kata instruktur Young Men’s Christian Association (YMCA), Aad Kik dari Belanda.
Aad Kik mengatakan, keengganan pengungsi kembali ke permukiman awal merupakan ekses trauma. Ini ditandai trauma pribadi, seperti menarik diri dari keramaian atau sebaliknya meleburkan diri dalam keramaian.
”Kami menjadi teman bagi pengungsi yang terkena dampak terbesar dari gempa bumi. Kami ajak mereka bicara dari hati ke hati, dimulai dari mendengarkan kembali detik-detik terjadinya gempa,” kata aktivis YMCA, Tumpal Batara Simanjuntak.
Salah satu hambatan, kecenderungan pengungsi menerima bantuan fisik, entah itu pangan, air, atau perkakas rumah tangga. Oleh karena itu, mereka menganggap bantuan konseling trauma bukan hal mendasar. Ini ditandai penolakan, minimal memandang kerja relawan YMCA sebagai sesuatu yang asing.
Konsultasi yang melibatkan psikolog, psikiater, atau praktisi kesehatan mental belum membudaya di Indonesia. Kita mengakrabi konsultasi di film Hollywood semisal Anger Management dan Mr and Mrs Smith, tetapi minim di film lokal, meski di film Arisan, adegan macam ini sudah dimunculkan walau terbatas di kalangan urban kota-kota besar.
”Anak-anak sangat rentan pada trauma. Maka ketika saya membimbing melukiskan gempa pada selembar kertas, gambar yang dimunculkan sangat menakutkan. Ada aroma ’gelap’ di sana,” ujar Aad Kik.
Trauma berkepanjangan, apa pun jenisnya, merupakan persoalan serius. Tiap kali terjadi gempa bumi yang kini di Pulau Nias terjadi tiap minggu, ketakutan demi ketakutan selalu muncul. ”Kami masih tinggal di tenda darurat. Rumah ada, tetapi retak-retak. Gempa terus terjadi di Nias,” ujar warga Nias Selatan, Novita Gloriana Maduwu.
Hilangnya gairah, menurut Aad Kik, dapat disaksikan di tenda-tenda pengungsian, di mana para pengungsi lebih banyak melewatkan waktu dengan tiduran, mengobrol, atau hal lain yang tidak produktif.
Langkah awal adalah dilakukannya beberapa kali pelatihan, baik di Sumatera Utara maupun di Nias. Pelatihan ditujukan bagi para mentor karena dia menyadari, tidak mungkin memberikan pelayanan langsung kepada semua korban.
Kemudian, sebanyak 14 guru SD dari berbagai sekolah di Nias Selatan dilatih mengatasi trauma terhadap gempa bumi dan tsunami. Nantinya, mereka diharapkan dapat menularkan metode meminimalkan dampak gempa terhadap anak didik.
Di Nias, ketika gempa datang Maret lalu, tanpa informasi yang jelas masyarakat berduyun-duyun mengungsi ke perbukitan di sekitar Gunungsitoli, tiga hari hingga seminggu. Mereka mengkhawatirkan datangnya tsunami.
Mereka trauma. Hingga berhari-hari mereka membiarkan anak-anak balita hanya mengonsumsi mi instan dengan gizi tidak memadai. Kalaupun pelajar Nias harus meringkuk di bawah meja ketika gempa datang, meja-meja mereka reyot dan bolong di sana-sini, sekolah inpres yang dibangun pada era pemerintahan Soeharto, di medio 1970-an. Bagaimana bisa dijadikan tempat berlindung.
HARYO DAMARDONO
”Biha Tuha! Biha Tuha!” Artinya, ”Sudah Nenek! Sudah Nenek!” Kalimat itu kerap diserukan orang Nias ketika gempa. Mereka meyakini putra Sirao yang bernama Bauwadanö Hia murka, dan kalimat itu dipanjatkan untuk menenangkan putra leluhur mereka.
Dalam buku kompilasi Asal-usul Masyarakat Nias karya Johannes Maria Hammerle, OFM Cap, Bauwadanö Hia menjadi murka ketika ada perang dan darah manusia yang merembes ke dalam tanah mengenai tubuhnya yang telah berubah menjadi ular besar.
Substansi mitologi orang Nias dapat diurai dalam dua unsur. Pertama, gempa telah lama menjadi bagian hidup penduduk Nias sehingga masalah gempa dikaitkan keberadaannya dengan sejarah asal-usul masyarakat Nias. Tentu saja ini menarik dikaji.
Kedua, konflik, pertikaian, perang, atau apa pun namanya dengan ekses darah tertumpah di bumi Nias bukan sesuatu yang luar biasa. Bahkan di Desa Bawamataluo, Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, perselisihan antarpenduduk desa pecah hanya karena dipicu persoalan pilkada Nias Selatan.
Terkait dengan trauma gempa, menarik dikaji dampaknya terhadap masyarakat di Nias, khususnya pada masa rekonstruksi.
”Kami memperoleh laporan, banyak korban gempa bumi trauma. Maka kami datang untuk mengurangi beban trauma,” kata instruktur Young Men’s Christian Association (YMCA), Aad Kik dari Belanda.
Aad Kik mengatakan, keengganan pengungsi kembali ke permukiman awal merupakan ekses trauma. Ini ditandai trauma pribadi, seperti menarik diri dari keramaian atau sebaliknya meleburkan diri dalam keramaian.
”Kami menjadi teman bagi pengungsi yang terkena dampak terbesar dari gempa bumi. Kami ajak mereka bicara dari hati ke hati, dimulai dari mendengarkan kembali detik-detik terjadinya gempa,” kata aktivis YMCA, Tumpal Batara Simanjuntak.
Salah satu hambatan, kecenderungan pengungsi menerima bantuan fisik, entah itu pangan, air, atau perkakas rumah tangga. Oleh karena itu, mereka menganggap bantuan konseling trauma bukan hal mendasar. Ini ditandai penolakan, minimal memandang kerja relawan YMCA sebagai sesuatu yang asing.
Konsultasi yang melibatkan psikolog, psikiater, atau praktisi kesehatan mental belum membudaya di Indonesia. Kita mengakrabi konsultasi di film Hollywood semisal Anger Management dan Mr and Mrs Smith, tetapi minim di film lokal, meski di film Arisan, adegan macam ini sudah dimunculkan walau terbatas di kalangan urban kota-kota besar.
”Anak-anak sangat rentan pada trauma. Maka ketika saya membimbing melukiskan gempa pada selembar kertas, gambar yang dimunculkan sangat menakutkan. Ada aroma ’gelap’ di sana,” ujar Aad Kik.
Trauma berkepanjangan, apa pun jenisnya, merupakan persoalan serius. Tiap kali terjadi gempa bumi yang kini di Pulau Nias terjadi tiap minggu, ketakutan demi ketakutan selalu muncul. ”Kami masih tinggal di tenda darurat. Rumah ada, tetapi retak-retak. Gempa terus terjadi di Nias,” ujar warga Nias Selatan, Novita Gloriana Maduwu.
Hilangnya gairah, menurut Aad Kik, dapat disaksikan di tenda-tenda pengungsian, di mana para pengungsi lebih banyak melewatkan waktu dengan tiduran, mengobrol, atau hal lain yang tidak produktif.
Langkah awal adalah dilakukannya beberapa kali pelatihan, baik di Sumatera Utara maupun di Nias. Pelatihan ditujukan bagi para mentor karena dia menyadari, tidak mungkin memberikan pelayanan langsung kepada semua korban.
Kemudian, sebanyak 14 guru SD dari berbagai sekolah di Nias Selatan dilatih mengatasi trauma terhadap gempa bumi dan tsunami. Nantinya, mereka diharapkan dapat menularkan metode meminimalkan dampak gempa terhadap anak didik.
Di Nias, ketika gempa datang Maret lalu, tanpa informasi yang jelas masyarakat berduyun-duyun mengungsi ke perbukitan di sekitar Gunungsitoli, tiga hari hingga seminggu. Mereka mengkhawatirkan datangnya tsunami.
Mereka trauma. Hingga berhari-hari mereka membiarkan anak-anak balita hanya mengonsumsi mi instan dengan gizi tidak memadai. Kalaupun pelajar Nias harus meringkuk di bawah meja ketika gempa datang, meja-meja mereka reyot dan bolong di sana-sini, sekolah inpres yang dibangun pada era pemerintahan Soeharto, di medio 1970-an. Bagaimana bisa dijadikan tempat berlindung.
Sumber: KOmpas Online, Senin, 5 Desember 2005
Title : Trauma Gempa di Nias ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2005/12/trauma-gempa-di-nias_5.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Trauma Gempa di Nias ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment