Apa Kabar Kelas Menengah? - Coen Husain Pontoh
SETELAH satu dekade krisis, ada banyak hal yang bisa kita renungkan. Tulisan singkat kali ini, hendak menyorot peran kelas menengah dalam mengonsolidasikan demokrasi.
Sebelumnya, saya mendefinisikan kelas menengah, sebagai kelas yang berada di antara kelas pekerja dan kelas pemilik kapital. Definisi ini memang terlalu luas dan kontroversial tapi, hingga kini masih cukup bisa diterima. Siapakah mereka ini? Meminjam kategorisasi Richard Robison (1993), dalam struktur ekonomi politik orde baru (Orba), mereka terdiri dari kalangan intelektual, teknokrat, manajer profesional, pengacara, aktivis LSM, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan pengusaha menengah bawah.
ui name='more'>Saya ingin membicarakan peran kelas ini, karena sumbangan besar mereka – terutama gerakan mahasiswa dan intelektual progresif – dalam menumbangkan kediktatoran Soeharto. Tetapi, setelah satu dekade reformasi, tampak gejala dimana peran kelas menengah menjadi tidak jelas.
Watak Kelas Menengah
Dalam sejarah orde baru, kelas menengah sangat tergantung pada proteksi dan kemurahan hati Negara. Kemanapun pun pendulum politik bergerak, kelas ini selalu saja mampu menyesuaikan dirinya. Ketika rejim Orba bergerak dengan politik-ekonomi dirigisme, kalangan ini berlomba-lomba mendekat ke sentral kekuasaan untuk memperoleh sisa irisan kue pembangunan. Demikian juga, tatkala angin politik bergerak ke sisi liberalisme, kalangan ini menuntut negara agar melindungi sumberdaya yang masih rentan.
Pada masa itu, kelas menengah menjadi juru bicara kebijakan Dwifungi ABRI yang brutal, sistem politik yang terpusat di lingkaran istana negara, dan politik-ekonomi yang mengandalkan buruh murah dan eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan maksimal. Bagian lain dari kelas menengah saat itu, menjadi tukang penyedia basis massa bagi keberlangsungan hidup rejim tapi, pada saat yang sama turut mengekalkan kebijakan politik massa mengambang.
Dengan watak politik seperti itu, seperti ditulis Robison, di masa Orba, gambaran mengenai kelas menengah sebagai secara inheren adalah kelas yang liberal dan reformis, sulit dipertahankan. Mereka adalah kelas yang terdepolitisasi, materialis, dan gagasan-gagasannya lebih digerakkan oleh ideal-ideal politik otoriterian ketimbang demokratik.
Kelas menengah baru mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan, ketika rejim Orba semakin sulit memenuhi kepentingannya. Kalkulasi politiknya memperlihatkan, berada terus di samping Soeharto tidak menguntungkan bagi masa depannya. Sikap inilah, misalnya, yang ditunjukkan oleh gelombang eksodus anggota kabinet yang dimotori Ginandjar Kartasasmita. Pembangkangan kelas menengah kian menjad-jadi, ketika puluhan perusahaan bangkrut diterjang gelombang krisis moneter. Bersama dengan gerakan mahasiswa yang mengalami radikalisasi, mereka bergabung di jalan-jalan utama ibukota. Hingga kemudian, sang jenderal tua itu jatuh.
Back to nature
Ketika pintu gerbang reformasi terbuka lebar, sistem politik serta-merta berubah. Demokrasi prosedural yang terbatas pelan-pelan dilembagakan. Di sektor ekonomi, rejim baru ini tunduk-patuh pada resep-resep kebijakan neoliberal yang didiktekan oleh lembaga keuangan multilateral.
Kombinasi kedua hal ini, membawa Indonesia menjadi satu dalam barisan negara-negara kapitalis-neoliberal yang terbelakang. Dalam rentang waktu satu dekade, selain pesta-pora, tak banyak cerita indah yang membuai. Di bidang politik, memang ada kebebasan politik tetapi, minus civil liberty. Secara politik, birokrasi dan TNI juga tidak sedigdaya dulu. Meminjam istilah Hans-Dieter Evers, kini mereka telah berposisi sebagai kelompok strategis. Pendulum kekuasaan politik saat ini ada di tangan partai politik.
Tetapi, jika di sektor politik terjadi perbedaan dengan sistem politik Orba, di sektor ekonomi rejim baru justru mempercepat memperkuat dan memperdalam apa-apa yang telah di rintis oleh Orba. Upah buruh murah tetap menjadi jualan utama bahkan, kini diperparah dengan diadopsinya kebijakan fleksibilitas kerja. Demikian juga dengan eksploitasi sumberdaya alam yang semakin intensif.
Tidak aneh, jika rakyat banyak yang sejak masa Orba telah tersingkir dari aktivitas ekonomi di sektor formal, kini semakin tersingkir. Bahkan lebih parah lagi, jika di masa Orba pemerintah masih ringan tangan menyediakan sembilan bahan kebutuhan pokok murah, kini atas nama efisiensi pemerintah angkat tangan dari tanggung jawabnya. Hasilnya, biaya-biaya kebutuhan dasar seperti, pendidikan, kesehatan, dan bahan kebutuhan pokok, semakin sulit dijangkau. Bagi mereka, reformasi adalah repotnasi.
Struktur ekonomi-politik baru ini, juga dengan cepat menjadi kendaraan bagi oligarki lama untuk kembali ke pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Walaupun kini harus berbagi tempat dengan modal internasional, komposisi oligarki di pusat kekuasaan tidak mengalami perubahan yang substansial. Dalam pengertian, para aktornya masih itu-itu juga. Memang posisi konglomerasi Cina, yang sebelumnya begitu mendominasi sektor ekonomi, kini telah sedikit bergeser ke pinggiran. Tempatnya kini diisi oleh konglomerasi pribumi yang berpusat di lingkaran Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.
Pertanyaannya, dimana peran kelas menengah saat ini? Apakah mereka telah berubah dari gambaran awal yang ditorehkan Robison? Ataukah mereka tetap menempel pada oligarki lama?
Saya ingin mengatakan, mayoritas kelas menengah saat ini tidak mengalami perubahan watak dan sikap politik yang substansial. Mereka tetaplah kelas yang menempel pada kekuasaan, terbawa langgam oligarki. Para teknokrat, misalnya, baik yang tua maupun yang muda, kembali pada fungsi lamanya sebaga juru bicara oligarki; para aktivis partai politik tetap menempatkan dirinya sebagai tukang penyedia basis massa; para jurnalis tak lagi kritis pada struktur yang menindas; aktivis LSM sibuk dengan masalah-masalah teknis-programatik dari struktur yang ada; dan aktivis mahasiswa lebih banyak bergerak berdasarkan kebutuhan patron politik.
Kelas menengah yang independen dan kritis, yang bergerak berdasarkan kepentingan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan pegawai negeri golongan rendahan, tetap merupakan minoritas. Seperti di masa Orba, di tengah-tengah mayoritas kelas menengah yang diam, suara mereka terdengar aneh. Tetapi, kalau dulu suara kritis itu mendatangkan kengerian, kini hanya menimbulkan rasa geli.
Apa kabar kelas menengah?***
SETELAH satu dekade krisis, ada banyak hal yang bisa kita renungkan. Tulisan singkat kali ini, hendak menyorot peran kelas menengah dalam mengonsolidasikan demokrasi.
Sebelumnya, saya mendefinisikan kelas menengah, sebagai kelas yang berada di antara kelas pekerja dan kelas pemilik kapital. Definisi ini memang terlalu luas dan kontroversial tapi, hingga kini masih cukup bisa diterima. Siapakah mereka ini? Meminjam kategorisasi Richard Robison (1993), dalam struktur ekonomi politik orde baru (Orba), mereka terdiri dari kalangan intelektual, teknokrat, manajer profesional, pengacara, aktivis LSM, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan pengusaha menengah bawah.
ui name='more'>Saya ingin membicarakan peran kelas ini, karena sumbangan besar mereka – terutama gerakan mahasiswa dan intelektual progresif – dalam menumbangkan kediktatoran Soeharto. Tetapi, setelah satu dekade reformasi, tampak gejala dimana peran kelas menengah menjadi tidak jelas.
Watak Kelas Menengah
Dalam sejarah orde baru, kelas menengah sangat tergantung pada proteksi dan kemurahan hati Negara. Kemanapun pun pendulum politik bergerak, kelas ini selalu saja mampu menyesuaikan dirinya. Ketika rejim Orba bergerak dengan politik-ekonomi dirigisme, kalangan ini berlomba-lomba mendekat ke sentral kekuasaan untuk memperoleh sisa irisan kue pembangunan. Demikian juga, tatkala angin politik bergerak ke sisi liberalisme, kalangan ini menuntut negara agar melindungi sumberdaya yang masih rentan.
Pada masa itu, kelas menengah menjadi juru bicara kebijakan Dwifungi ABRI yang brutal, sistem politik yang terpusat di lingkaran istana negara, dan politik-ekonomi yang mengandalkan buruh murah dan eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan maksimal. Bagian lain dari kelas menengah saat itu, menjadi tukang penyedia basis massa bagi keberlangsungan hidup rejim tapi, pada saat yang sama turut mengekalkan kebijakan politik massa mengambang.
Dengan watak politik seperti itu, seperti ditulis Robison, di masa Orba, gambaran mengenai kelas menengah sebagai secara inheren adalah kelas yang liberal dan reformis, sulit dipertahankan. Mereka adalah kelas yang terdepolitisasi, materialis, dan gagasan-gagasannya lebih digerakkan oleh ideal-ideal politik otoriterian ketimbang demokratik.
Kelas menengah baru mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan, ketika rejim Orba semakin sulit memenuhi kepentingannya. Kalkulasi politiknya memperlihatkan, berada terus di samping Soeharto tidak menguntungkan bagi masa depannya. Sikap inilah, misalnya, yang ditunjukkan oleh gelombang eksodus anggota kabinet yang dimotori Ginandjar Kartasasmita. Pembangkangan kelas menengah kian menjad-jadi, ketika puluhan perusahaan bangkrut diterjang gelombang krisis moneter. Bersama dengan gerakan mahasiswa yang mengalami radikalisasi, mereka bergabung di jalan-jalan utama ibukota. Hingga kemudian, sang jenderal tua itu jatuh.
Back to nature
Ketika pintu gerbang reformasi terbuka lebar, sistem politik serta-merta berubah. Demokrasi prosedural yang terbatas pelan-pelan dilembagakan. Di sektor ekonomi, rejim baru ini tunduk-patuh pada resep-resep kebijakan neoliberal yang didiktekan oleh lembaga keuangan multilateral.
Kombinasi kedua hal ini, membawa Indonesia menjadi satu dalam barisan negara-negara kapitalis-neoliberal yang terbelakang. Dalam rentang waktu satu dekade, selain pesta-pora, tak banyak cerita indah yang membuai. Di bidang politik, memang ada kebebasan politik tetapi, minus civil liberty. Secara politik, birokrasi dan TNI juga tidak sedigdaya dulu. Meminjam istilah Hans-Dieter Evers, kini mereka telah berposisi sebagai kelompok strategis. Pendulum kekuasaan politik saat ini ada di tangan partai politik.
Tetapi, jika di sektor politik terjadi perbedaan dengan sistem politik Orba, di sektor ekonomi rejim baru justru mempercepat memperkuat dan memperdalam apa-apa yang telah di rintis oleh Orba. Upah buruh murah tetap menjadi jualan utama bahkan, kini diperparah dengan diadopsinya kebijakan fleksibilitas kerja. Demikian juga dengan eksploitasi sumberdaya alam yang semakin intensif.
Tidak aneh, jika rakyat banyak yang sejak masa Orba telah tersingkir dari aktivitas ekonomi di sektor formal, kini semakin tersingkir. Bahkan lebih parah lagi, jika di masa Orba pemerintah masih ringan tangan menyediakan sembilan bahan kebutuhan pokok murah, kini atas nama efisiensi pemerintah angkat tangan dari tanggung jawabnya. Hasilnya, biaya-biaya kebutuhan dasar seperti, pendidikan, kesehatan, dan bahan kebutuhan pokok, semakin sulit dijangkau. Bagi mereka, reformasi adalah repotnasi.
Struktur ekonomi-politik baru ini, juga dengan cepat menjadi kendaraan bagi oligarki lama untuk kembali ke pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Walaupun kini harus berbagi tempat dengan modal internasional, komposisi oligarki di pusat kekuasaan tidak mengalami perubahan yang substansial. Dalam pengertian, para aktornya masih itu-itu juga. Memang posisi konglomerasi Cina, yang sebelumnya begitu mendominasi sektor ekonomi, kini telah sedikit bergeser ke pinggiran. Tempatnya kini diisi oleh konglomerasi pribumi yang berpusat di lingkaran Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.
Pertanyaannya, dimana peran kelas menengah saat ini? Apakah mereka telah berubah dari gambaran awal yang ditorehkan Robison? Ataukah mereka tetap menempel pada oligarki lama?
Saya ingin mengatakan, mayoritas kelas menengah saat ini tidak mengalami perubahan watak dan sikap politik yang substansial. Mereka tetaplah kelas yang menempel pada kekuasaan, terbawa langgam oligarki. Para teknokrat, misalnya, baik yang tua maupun yang muda, kembali pada fungsi lamanya sebaga juru bicara oligarki; para aktivis partai politik tetap menempatkan dirinya sebagai tukang penyedia basis massa; para jurnalis tak lagi kritis pada struktur yang menindas; aktivis LSM sibuk dengan masalah-masalah teknis-programatik dari struktur yang ada; dan aktivis mahasiswa lebih banyak bergerak berdasarkan kebutuhan patron politik.
Kelas menengah yang independen dan kritis, yang bergerak berdasarkan kepentingan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan pegawai negeri golongan rendahan, tetap merupakan minoritas. Seperti di masa Orba, di tengah-tengah mayoritas kelas menengah yang diam, suara mereka terdengar aneh. Tetapi, kalau dulu suara kritis itu mendatangkan kengerian, kini hanya menimbulkan rasa geli.
Apa kabar kelas menengah?***
Title : Apa Kabar Kelas Menengah? ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/09/apa-kabar-kelas-menengah_18.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Apa Kabar Kelas Menengah? ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment