Fleksibilitas Kerja dan Kesejahteraan Buruh - Indrasari Tjandraningsih
KEBIJAKAN fleksibilitas tenaga kerja sudah dilegalkan melalui UU Ketenagakerjaan 13/2003. Persoalan muncul ketika flexible employment yang diatur dalam UU tersebut, masih tetap dianggap kurang fleksibel, sehingga muncul rencana revisi UUK 13/2003. Sebuah rencana yang bahkan oleh sebagian pengusaha dianggap sangat liberal. Di dalam rencana revisi tersebut, di antaranya memuat hilangnya perlindungan dari negara kepada buruh (ps.35:3), persaingan terbuka antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing (ps.46:1-2), ketidakpastian hubungan kerja (ps.50) dan ketidakpastian kerja serta penurunan kesejahteraan (ps.59, 64-66).
ui name='more'>Pasal-pasal tersebut menjelaskan, mengapa terjadi penolakan yang keras dari buruh. Jika rencana pemerintah itu dibiarkan, implikasi langsungnya adalah terjadinya degradasi kondisi kerja dan kesejahteraan . Di tataran internasional, pasal-pasal tersebut juga mengingkari prinsip-prinsip decent work yang disyaratkan ILO (International Labor Organization).
Apa yang terjadi di lapangan, pada dasarnya adalah wujud konkrit dari esensi konsep fleksibilitas. Tujuan pokok kebijakan fleksibilitas adalah mendorong daya saing korporasi melalui penyingkiran berbagai hambatan bagi operasi modal. Demi tujuan tersebut, beberapa prinsip dasar harus dipenuhi. Prinsip dasar yang terpenting adalah reduksi atau pencabutan berbagai peraturan yang melindungi buruh. Pemenuhan prinsip-prinsip dasar itu diwujudkan melalui penyusunan regulasi perburuhan yang sangat liberal dan sangat memudahkan prosedur rekrut dan pecat. Pada saat yang sama, pemenuhan prinsip dasar tersebut dengan sendirinya telah menarik negara dari perannya sebagai pelindung buruh. Implikasi dari semua itu adalah meningkatnya kerentanan buruh dan ketidakamanan kerja dalam bentuk degradasi kondisi kerja (pengurangan upah dan kesempatan lembur, ketidakpastian kerja dan penghasilan); perubahan bentuk hubungan kerja dari permanen menjadi temporer sekaligus bergandanya aktor majikan; fragmentasi buruh berdasarkan hubungan kerja; dan komodifikasi tenaga kerja
Sejak UUK 13/2003 efektif berlaku, secara massif terjadi gerakan penggantian status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, melalui sistem outsourcing tenaga kerja. Trend ini terutama terjadi pada industri besar padat karya yang memproduksi garment, sepatu, elektronik dan makanan. Sistem outsourcing tenaga kerja yang diatur dalam pasal 64-66 UUK, menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti buruh tetap menjadi buruh kontrak. Menjadi persoalan bagi buruh, ketika penggantian status pekerja dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ada. Berbagai kasus perusahaan tutup tanpa memenuhi persyaratan penutupan perusahaan, meninggalkan ribuan buruh tanpa hak mereka ketika terjadi pemutusan hubungan kerja. Perusahaan yang tutup kemudian beroperasi lagi di tempat lain dan merekrut buruh lama maupun baru sebagai tenaga kerja baru dengan pengalaman nol tahun dan dengan status kontrak.
Sebagai tenaga kontrak, yang direkrut melalui perusahaan pengerah tenaga kerja (outsourced) – yang banyak muncul di pusat-pusat industri sebagai bisnis yang sangat menguntungkan – buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat tanpa tunjangan lain. Padahal, mereka melakukan pekerjaan yang persis sama dengan buruh tetap. Kontrak kerja mereka umumnya pendek-pendek dari 1 hingga 6 bulan dan dapat diputus setiap saat. Kontrak kerja yang pendek menciptakan ketidakpastian kerja, apalagi peningkatan karir. Buruh outsourcing juga kehilangan kesempatan berserikat, karena baik secara terbuka maupun terselubung, perusahaan pengerah maupun pengguna tenaga buruh melarang mereka untuk berserikat dengan resiko kehilangan pekerjaan.
Sistem outsourcing tenaga kerja juga memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja, yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Telah menjadi praktek umum bahwa seseorang yang mencari pekerjaan melalui perusahaan outsourcing tenaga kerja, harus membayar sejumlah uang agar dapat disalurkan tenaganya, dan harus membayar sejumlah uang lagi untuk mempertahankan pekerjaannya. Tidak itu saja, secara rutin buruh harus membayar antara 20 hingga 50 persen upah bulanannya kepada perusahaan penyalurnya sebagai setoran wajib.
Dengan kondisi seperti itu, posisi tawar buruh di hadapan perusahaan penyalur sangat lemah. Setiap saat, mereka dengan sangat mudah diganti oleh orang lain.
Kondisi kerja yang dialami buruh akibat penerapan flexible employment dan outsourcing tenaga kerja, menunjukkan, betapa lemahnya law enforcement dan minimnya perlindungan terhadap buruh. Situasi lemahnya law enforcement juga menunjukkan, lemahnya posisi negara berhadapan dengan modal. Masalah pengangguran yang mencapai 11 juta jiwa, telah menyebabkan pemerintah gelap mata. Demi menarik hati investor agar mau menanamkan modalnya, pemerintah telah menciptakan sebuah kondisi anything goes for employment creation dengan mengesampingkan perlindungan tenaga kerja sebagai agenda utama.
Situasi ini mengingatkan kembali pada dekade 80an, ketika investasi asing diundang masuk untuk menggerakkan industri manufaktur padat karya dengan berbagai fasilitas dan toleransi negara yang tinggi terhadap pelanggaran hak buruh. Padahal, di sisi lain, degradasi kesejahteraan buruh merupakan ancaman bagi kelancaran investasi. Kesejahteraan yang rendah akibat upah rendah dan kesempatan kerja yang tak pasti berimplikasi terhadap daya beli buruh yang rendah. Daya beli buruh yang rendah akan menutup potensi ekspansi pasar produk-produk perusahaan.
Seluruh situasi tersebut menjelaskan, mengapa terjadi penolakan yang keras terhadap kebijakan fleksibilitas. Negara terbukti tidak mampu mengawal dengan baik peraturan-peraturannya sendiri. Pengalaman di berbagai negara di Asia maupun Eropa, memperlihatkan, kebijakan fleksibilitas sangat diatur oleh negara dengan memperhatikan kesejahteraan warga pekerjanya. Negara-negara tersebut juga mengimbangi penerapan fleksibilitas pasar kerja dengan jaminan sosial yang sangat memadai, yang bertujuan untuk menyangga kesejahteraan warga.
Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana pemerintah menjalankan perannya secara adil bagi seluruh warganya, tanpa mengorbankan salah satu kelompok. Belum terlambat untuk memikirkan dan menata kembali berbagai prasyarat yang diperlukan agar kebijakan pasar kerja yang fleksibel, mendatangkan manfaat bagi semua yang berkepentingan. Menciptakan iklim invetasi yang bersahabat sangat bisa dilakukan dengan cara yang tidak merugikan buruh. Dan dengan demikian akan lebih mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat pekerja yang kian merosot.***
KEBIJAKAN fleksibilitas tenaga kerja sudah dilegalkan melalui UU Ketenagakerjaan 13/2003. Persoalan muncul ketika flexible employment yang diatur dalam UU tersebut, masih tetap dianggap kurang fleksibel, sehingga muncul rencana revisi UUK 13/2003. Sebuah rencana yang bahkan oleh sebagian pengusaha dianggap sangat liberal. Di dalam rencana revisi tersebut, di antaranya memuat hilangnya perlindungan dari negara kepada buruh (ps.35:3), persaingan terbuka antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing (ps.46:1-2), ketidakpastian hubungan kerja (ps.50) dan ketidakpastian kerja serta penurunan kesejahteraan (ps.59, 64-66).
ui name='more'>Pasal-pasal tersebut menjelaskan, mengapa terjadi penolakan yang keras dari buruh. Jika rencana pemerintah itu dibiarkan, implikasi langsungnya adalah terjadinya degradasi kondisi kerja dan kesejahteraan . Di tataran internasional, pasal-pasal tersebut juga mengingkari prinsip-prinsip decent work yang disyaratkan ILO (International Labor Organization).
Apa yang terjadi di lapangan, pada dasarnya adalah wujud konkrit dari esensi konsep fleksibilitas. Tujuan pokok kebijakan fleksibilitas adalah mendorong daya saing korporasi melalui penyingkiran berbagai hambatan bagi operasi modal. Demi tujuan tersebut, beberapa prinsip dasar harus dipenuhi. Prinsip dasar yang terpenting adalah reduksi atau pencabutan berbagai peraturan yang melindungi buruh. Pemenuhan prinsip-prinsip dasar itu diwujudkan melalui penyusunan regulasi perburuhan yang sangat liberal dan sangat memudahkan prosedur rekrut dan pecat. Pada saat yang sama, pemenuhan prinsip dasar tersebut dengan sendirinya telah menarik negara dari perannya sebagai pelindung buruh. Implikasi dari semua itu adalah meningkatnya kerentanan buruh dan ketidakamanan kerja dalam bentuk degradasi kondisi kerja (pengurangan upah dan kesempatan lembur, ketidakpastian kerja dan penghasilan); perubahan bentuk hubungan kerja dari permanen menjadi temporer sekaligus bergandanya aktor majikan; fragmentasi buruh berdasarkan hubungan kerja; dan komodifikasi tenaga kerja
Sejak UUK 13/2003 efektif berlaku, secara massif terjadi gerakan penggantian status kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak, melalui sistem outsourcing tenaga kerja. Trend ini terutama terjadi pada industri besar padat karya yang memproduksi garment, sepatu, elektronik dan makanan. Sistem outsourcing tenaga kerja yang diatur dalam pasal 64-66 UUK, menjadi dasar hukum bagi perusahaan untuk mengganti buruh tetap menjadi buruh kontrak. Menjadi persoalan bagi buruh, ketika penggantian status pekerja dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ada. Berbagai kasus perusahaan tutup tanpa memenuhi persyaratan penutupan perusahaan, meninggalkan ribuan buruh tanpa hak mereka ketika terjadi pemutusan hubungan kerja. Perusahaan yang tutup kemudian beroperasi lagi di tempat lain dan merekrut buruh lama maupun baru sebagai tenaga kerja baru dengan pengalaman nol tahun dan dengan status kontrak.
Sebagai tenaga kontrak, yang direkrut melalui perusahaan pengerah tenaga kerja (outsourced) – yang banyak muncul di pusat-pusat industri sebagai bisnis yang sangat menguntungkan – buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat tanpa tunjangan lain. Padahal, mereka melakukan pekerjaan yang persis sama dengan buruh tetap. Kontrak kerja mereka umumnya pendek-pendek dari 1 hingga 6 bulan dan dapat diputus setiap saat. Kontrak kerja yang pendek menciptakan ketidakpastian kerja, apalagi peningkatan karir. Buruh outsourcing juga kehilangan kesempatan berserikat, karena baik secara terbuka maupun terselubung, perusahaan pengerah maupun pengguna tenaga buruh melarang mereka untuk berserikat dengan resiko kehilangan pekerjaan.
Sistem outsourcing tenaga kerja juga memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja, yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Telah menjadi praktek umum bahwa seseorang yang mencari pekerjaan melalui perusahaan outsourcing tenaga kerja, harus membayar sejumlah uang agar dapat disalurkan tenaganya, dan harus membayar sejumlah uang lagi untuk mempertahankan pekerjaannya. Tidak itu saja, secara rutin buruh harus membayar antara 20 hingga 50 persen upah bulanannya kepada perusahaan penyalurnya sebagai setoran wajib.
Dengan kondisi seperti itu, posisi tawar buruh di hadapan perusahaan penyalur sangat lemah. Setiap saat, mereka dengan sangat mudah diganti oleh orang lain.
Kondisi kerja yang dialami buruh akibat penerapan flexible employment dan outsourcing tenaga kerja, menunjukkan, betapa lemahnya law enforcement dan minimnya perlindungan terhadap buruh. Situasi lemahnya law enforcement juga menunjukkan, lemahnya posisi negara berhadapan dengan modal. Masalah pengangguran yang mencapai 11 juta jiwa, telah menyebabkan pemerintah gelap mata. Demi menarik hati investor agar mau menanamkan modalnya, pemerintah telah menciptakan sebuah kondisi anything goes for employment creation dengan mengesampingkan perlindungan tenaga kerja sebagai agenda utama.
Situasi ini mengingatkan kembali pada dekade 80an, ketika investasi asing diundang masuk untuk menggerakkan industri manufaktur padat karya dengan berbagai fasilitas dan toleransi negara yang tinggi terhadap pelanggaran hak buruh. Padahal, di sisi lain, degradasi kesejahteraan buruh merupakan ancaman bagi kelancaran investasi. Kesejahteraan yang rendah akibat upah rendah dan kesempatan kerja yang tak pasti berimplikasi terhadap daya beli buruh yang rendah. Daya beli buruh yang rendah akan menutup potensi ekspansi pasar produk-produk perusahaan.
Seluruh situasi tersebut menjelaskan, mengapa terjadi penolakan yang keras terhadap kebijakan fleksibilitas. Negara terbukti tidak mampu mengawal dengan baik peraturan-peraturannya sendiri. Pengalaman di berbagai negara di Asia maupun Eropa, memperlihatkan, kebijakan fleksibilitas sangat diatur oleh negara dengan memperhatikan kesejahteraan warga pekerjanya. Negara-negara tersebut juga mengimbangi penerapan fleksibilitas pasar kerja dengan jaminan sosial yang sangat memadai, yang bertujuan untuk menyangga kesejahteraan warga.
Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana pemerintah menjalankan perannya secara adil bagi seluruh warganya, tanpa mengorbankan salah satu kelompok. Belum terlambat untuk memikirkan dan menata kembali berbagai prasyarat yang diperlukan agar kebijakan pasar kerja yang fleksibel, mendatangkan manfaat bagi semua yang berkepentingan. Menciptakan iklim invetasi yang bersahabat sangat bisa dilakukan dengan cara yang tidak merugikan buruh. Dan dengan demikian akan lebih mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat pekerja yang kian merosot.***
Title : Fleksibilitas Kerja dan Kesejahteraan Buruh ► SEOer Mendem ►
URL : https://mixed-corner.blogspot.com/2007/09/fleksibilitas-kerja-dan-kesejahteraan_9.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel Fleksibilitas Kerja dan Kesejahteraan Buruh ini jika bermanfaat bagi sobat.
0 komentar | add komentar
Post a Comment